Perusahaan Melanggar Ketentuan Pascatambang, Usulkan Penerapan Denda Korporasi

- Jumat, 3 April 2020 | 10:22 WIB
ilustrasi
ilustrasi

SAMARINDA-Status clean and clear (CnC) yang disematkan ke perusahaan pertambangan mineral dan batu bara (minerba) tak berarti menganggap perusahaan minerba bersih dari dosa. Minimnya kepatuhan perusahaan dalam mereklamasi void dan pemulihan lingkungan pascatambang masih berakhir dengan tersajinya nyawa melayang di lubang yang dibiarkan menganga.

Begitu pun dengan penempatan dana jaminan reklamasi dan pascatambang yang justru tak menjadi prasyarat pengajuan perizinan industri ekstraktif itu. Walhasil, pengaturan jaminan reklamasi dan pascatambang hanya membawa kunat yang terus membusuk jauh sebelum eksplorasi terjadi.

Hal itu terungkap dalam laporan yang digagas Auriga Nusantara bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Greenpeace, Indonesia Corruption Watch (ICW), TrendAsia, Wahana Lingkungan Hidup, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam konferensi pers berbasis peranti lunak berbagi video  (1/4).

Masalah itu kian masif menguatkan rentannya persoalan tambang itu dari korupsi dengan hadirnya Rancangan Undang-Undang Omnibus Law. Menurut peneliti Auritga Nusarantara Iqbal Damanik, industri ekstraktif seperti berjalan di atas karpet merah dari keberadaan undang-undang itu.

Sebab, kata dia, nantinya mendapat kemudahan hilirisasi eksplorasi. Padahal, merunut pada aturan, jaminan reklamasi (jamrek) dan pascatambang sudah muskil dikerjakan karena lepas tangannya perusahaan selepas menetapkan dana itu. “Lubang tak ditutup ketika izin habis, yang menutup malah pemerintah,” ucapnya.

Ada delapan perusahaan berstatus perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKB2B) yang belum mereklamasi dan memiliki utang jamrek. Tujuh di antaranya berada di Kaltim.

Yakni, PT AD dengan kontrak yang berakhir pada 1 Oktober 2022, PT AI pada 1 November 2020, PT BC pada 26 April 2025, PT KJ pada 13 Maret 2023, PT KP pada 31 Desember 2021, PT MH pada 1 April 2021, PT KC pada 13 September 2021, dan PT TH pada 14 Februari 2019.

Lanjut Iqbal, luas konsensi ke tujuh perusahaan yang belum direklamasi itu ditaksir mencapai 87.307 hektare atau setara dengan luas wilayah Bandung dan Jakarta. Dari luasan itu, sekitar 25.551 hektare eksplorasi justru melipir ke kawasan hutan tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Penerapan jaminan reklamasi ke pemilik izin PKB2B justru melempem.

Padahal, pemerintah punya hak untuk menagih pemulihan selepas eksplorasi. Jamrek yang mestinya bisa masuk ke keuangan negara justru jadi modus lepas tangan. Perlu sistem paksa agar perusahaan mau memulihkan menunaikan tugasnya selepas mengeruk. “Masih minim sanksi tegas. Padahal, itu yang jadi kunci dari semua polemik yang muncul selepas tambang,” sambungnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menuturkan, jamrek sejatinya menjadi hak negara jika berangkat dari UU 17/2003 tentang Keuangan Negara.

Dari beleid itu, di pasal pembuka disebutkan jika kekayaan negara atau daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak lain yang dapat diuangan merupakan kekayaan negara. “Dari definisi itu saja mestinya jelas jika jamrek itu masuk kas negara,” tuturnya.

Dana jamrek dan pascatambang diberlakukan ketika 30 hari sebelum rencana reklamasi disetujui. Sehingga pemenuhan pembiayaan yang jelas dari si empunya izin usaha pertambangan (IUP) yang ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 78/2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Dari aturan itu, ada sanksi administrasi dan sanksi pidana yang diterapkan ke perusahaan yang mangkir melunasi jamrek.

Sementara itu, Herdiansyah Hamzah menyebut, dari penelitian kolaborasi itu membeber adanya lima temuan fundamental yang menyiratkan adanya celah praktik korupsi lingkungan, berangkat dari permasalahan jamrek.

Pertama, tidak adanya mekanisme untuk menguji kepatuhan penempatan dana jamrek dan pascatambang karena pemerintah hanya berangkat dari dokumen rencana reklamasi yang diusulkan perusahaan tanpa memerhatikan kinerja langsung di lapangan. “Padahal, gagal membayar reklamasi sama saja dengan mandeknya izin eksplorasi naik kelas ke izin operasi produksi,” sebutnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X