Pendidikan menjadi salah satu masalah serius di Pereng Taliq. Tak sedikit orangtua yang lebih memilih anaknya ke ladang ketimbang menyekolahkan mereka.
EDWIN AGUSTYAN, Bongan
BOBY Rahman tersenyum melihat tingkah sekumpulan murid SD. Di bawah sengat mentari yang terik, mereka tampak riang mengisi benih padi gunung ke dalam lubang. Tingkah lucu tatkala saling berebut lubang, justru mengundang tawanya.
Para murid tak kalah bahagianya. Tak dihiraukan lagi debu yang menyelimuti pakaian merah-putih mereka. Tanpa dikomando bocah-bocah itu terus bergerak. Menyemai benih yang diharap bisa mengubah pola hidup warga Kampung Pereng Taliq.
Boby tak sekadar mengajarkan cara bercocok tanam kepada murid-muridnya. Kepala SD 016 Pereng Taliq itu menyimpan asa agar warga tidak lagi menggunakan pola ladang berpindah. Dia yakin setelah dua tahun lahan seluas 15x30 meter itu bisa memberikan hasil maksimal. Selain padi gunung, ditanami sayur-sayuran.
Bukan tanpa alasan, dia mengambil keputusan tersebut. Pria 38 tahun itu mengatakan, anak usia sekolah di Pereng Taliq tidak semuanya mengenyam bangku pendidikan. Sebagian justru diajak orangtua untuk membantu di ladang. Jika tidak menggunakan ladang berpindah, dia berharap anak-anak bisa lebih fokus bersekolah. “Sekarang saya punya 46 murid. Itu dari kelas 1 sampai 6. Murid kelas 3 cuma dua orang,” katanya dengan nada lirih.
Dengan melek pendidikan, itu bisa menjadi modal bagi warga Pereng Taliq untuk menyambut ibu kota negara (IKN). Terlebih, kampung yang berada di kaki Pegunungan Meratus itu bakal menjadi daerah penyangga.
Perbaikan juga dilakukan di internal sekolah. Jika di sekolah lain pada umumnya murid kelas 1 sudah mulai fasih membaca, di SD 016, mereka yang sudah menginjak kelas 4 bahkan masih ada yang tertatih. Diakui Boby itu bukan semata karena sang anak yang lamban menyerap ilmu. Tapi juga tenaga pengajar yang kurang fasih menyampaikan pelajaran. “Dulu, beberapa guru mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban. Yang penting mereka sudah memberikan pelajaran di kelas,” ungkap Boby.
Dia ingin menjadikan sekolah itu berbasis alam. Tidak melulu belajar di kelas. Lebih banyak berdiskusi sekaligus praktik di lingkungan sekolah. Dia dibantu tujuh guru. Hanya satu yang PNS, sisanya honorer Pemkab Kutai Barat.
Dengan metode tersebut, diharapkan bisa mewujudkan sekolah berwawasan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan. “Tapi saya mau minta jadi guru saja. Kepala sekolah tidak bisa mengajar di kelas. Tidak seperti dulu lagi. Saya merasa ada hal-hal yang harus saya lakukan sendiri supaya tujuan bisa terwujud,” ungkapnya.
Masalah pendidikan tidak hanya dirasakan Boby, Kepala Kampung Pereng Taliq Agus Salim turut mengeluhkan hal serupa. Dia kebingungan ketika mencari staf desa. Terlebih, syarat yang diajukan harus lulusan SMA. “Sementara di sini SD saja belum tentu lulus,” terangnya.
Itu juga yang dialami Agus. Pendidikan formalnya hanya sampai kelas 5 SD. Setelahnya, dia mengikuti ujian persamaan hingga tingkat SMA. “Jadi anak-anak harus sekolah. Jangan hanya jadi penonton waktu ibu kota pindah,” ucapnya, di hadapan warga, saat acara pemutaran film dan pentas Tari Bawon dan Kahyangan pada 20 Maret.