ROMA- Penanggulangan persebaran virus korona di seluruh dunia kian ketat. Namun, tak semua negara berhasil. Italia terbukti paling tertekan akibat virus tersebut setelah melaporkan sekitar 10 ribu kematian karena Covid-19.
Kebijakan karantina yang diterapkan pemerintah Italia bukan main-main. Antonia Mortensen, warga Milan, menjadi saksi langsung. Saat itu dia berkendara dengan suaminya untuk menjenguk saudara di rumah sakit. Mereka sudah mengurus sertifikat khusus yang mengizinkan keluar pintu rumah. Namun, tetap saja mereka diberhentikan petugas kepolisian di tengah jalan. ’’Kami diberi tahu bahwa salah satu harus duduk di belakang,’’ ungkap Mortensen kepada CNN.
Otoritas di Italia kini superketat soal kebijakan karantina dan social distancing alias sistem menjaga jarak antarindividu. Kalau melanggar, pelaku bisa dikenai denda hingga 3 ribu euro (Rp 54 juta). Kebijakan tersebut diterapkan bertahap sejak enam minggu lalu. Harapannya, negara di Eropa itu bisa mengikuti jejak Tiongkok dan Korea Selatan (Korsel) untuk mengurangi kasus baru.
Namun, kebijakan pemerintahan Giuseppe Conte belum terbukti manjur. Sabtu lalu (28/3) mereka mengumumkan 889 kasus Covid-19 baru. Laporan itu menjadikan Italia negara pertama yang mempunyai korban jiwa pada bilangan empat digit. ’’Saat ini kita berada di momen kritis dalam sejarah Eropa. Saya mewakili negara yang menderita dan saya tak mau menunda-nunda,’’ ujar Conte kepada The Guardian.
Total kematian akibat virus korona di Benua Eropa sudah mencapai 20 ribu. Selain Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris juga harus kehilangan ribuan nyawa karena wabah tersebut. Namun, banyak pakar yang mengonfirmasi bahwa Italia-lah yang paling frustrasi.
Negara tersebut merupakan salah satu yang paling cepat memberikan respons. Meski begitu, saat ini total kasus Covid-19 sudah menembus 92 ribu. Mengalahkan sumber pandemi, Tiongkok. Meski begitu, masih kalah oleh AS.
Salah satu faktor yang mungkin menentukan adalah demografi. Italia merupakan negara dengan populasi lansia terbesar setelah Jepang. Menurut lembaga kesehatan Italia, rata-rata usia korban jiwa virus korona adalah 78 tahun.
Selain itu, kebijakan lockdown yang diterapkan Italia tak bisa seketat rezim Xi Jinping. Giorgio Palu, profesor virologi dan mikrobiologi di University of Padova, mengatakan bahwa karantina Italia tak seekstrem di Wuhan dan kota-kota Tiongkok lainnya.
’’Tapi, ini adalah tindakan terparah yang bisa dilakukan pemerintahan demokratis. Beberapa hak dasar warga seperti hak berkumpul sudah direnggut,’’ ujar mantan presiden European and Italian Society for Virology itu.
Di sisi lain, negara komunis seperti Tiongkok bisa menerapkan respons yang lebih keras. Hal tersebut membuat warga Wuhan akhirnya mulai diizinkan keluar rumah setelah lebih dari dua bulan. Kini Xi Jinping lebih berfokus memagari Tiongkok dari kasus-kasus Covid-19 yang datang dari luar negeri.
Pekan lalu otoritas Tiongkok memangkas penerbangan internasional. Setiap rute hanya diizinkan satu kali pergi pulang. Hal tersebut membuat kapasitas penerbangan internasional terpangkas 75 persen.
Tiongkok juga melarang kunjungan dari hampir semua warga asing. Termasuk yang sudah mempunyai izin tinggal. ’’Awalnya, kami kira mungkin lebih aman di luar negeri. Tapi, sekarang pikiran itu terbalik,’’ ungkap Han Li, warga Wuhan.
Sementara itu, pemerintah AS, tampaknya, belum menemukan kebijakan yang tepat untuk menangani Covid-19. Akhir pekan lalu Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa Negara Bagian New York tak perlu melalui proses karantina. Padahal, beberapa saat sebelumnya, Trump mengatakan bahwa dirinya mempertimbangkan pemberlakuan lockdown di New York serta sebagian New Jersey dan Connecticut.
Saat ini ada 52 ribu kasus di New York. Artinya, pasien di negara bagian tersebut mencapai setengah dari total kasus nasional. Namun, rencana meniru tindakan Tiongkok langsung diprotes Gubernur New York Andrew Cuomo. ’’Jika kebijakan lebih ketat diberlakukan, kita akan menjadi Wuhan. Perdagangan dan bursa saham bakal jatuh,’’ ungkapnya kepada BBC.