Pegunungan Meratus menjadi bagian tak terpisahkan Kampung Pereng Taliq, Kecamatan Bongan, Kutai Barat. Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan ibu kota dirasa mengancam kelestarian hutan tempat mereka menggantungkan hidup.
EDWIN AGUSTYAN, Bongan
TUMPUKAN rotan selesai dikemas. Perbekalan pun sudah disiapkan. Bersama ayahnya, Kosong --kepala adat Pereng Taliq-- mulai memasuki hutan. Selama sepekan mereka melangkahkan kaki di jalan setapak kaki Pegunungan Meratus.
Hutan yang dilalui jenis hujan tropis dengan pepohonan yang tumbuh rapat dan menjulang tinggi. Mereka juga mesti waspada terhadap hewan buas, seperti beruang. Perjalanan itu harus dilakukan. Stok bumbu dapur dan perlengkapan masak sudah mulai menipis. Mereka harus berbelanja. Tempat terdekat adalah Penajam. Ada pula yang ke Muara Teweh (Kalimantan Tengah), dan Toyu (wilayah Paser).
Menetap di Pereng Taliq, Kosong dan warga lainnya memang harus lebih berkeringat jika ingin berbelanja. Mereka tidak punya pilihan akses jalan lain. Menjual rotan dan sirap. Lalu membeli garam, minyak goreng, hingga bumbu penyedap.
Lambat laun perjalanan sedikit terbantu. Mereka mulai membuat rakit dan perahu. Dengan mendayung warga menuju hulu Sungai Nungan. Dilanjutkan jalan kaki. Perjalanan bisa lebih hemat dua hari.
Rutinitas menyusuri hutan Pegunungan Meratus itu dilakukan setelah mereka mulai mengkonsumsi penganan lain, selain nasi, sagu, dan singkong. Tidak ada aktivitas ngeteh atau ngopi sembari menikmati senja ala anak indie. Hanya air putih.
“Dulu tidak ada jalan menuju Barong (Tongkok) atau desa lain di wilayah Kubar. Kami harus ke Penajam,” kata Kosong, saat ditemui pekan lalu di Kantor Kepala Desa Pereng Taliq.
Saya mengunjungi Pereng Taliq bersama 17 anggota Mapala Cadas.Com STT Migas Balikpapan yang melakukan Ekspedisi Beratus. Pereng Taliq jadi salah satu yang kami teliti. Selain juga pendakian ke Gunung Beratus. Penelitian berlangsung sepuluh hari. Saya bergabung pada hari keempat.
Ketua Adat Kampung Pereng Taliq itu menuturkan bahwa kawasan Pegunungan Meratus sejak awal menjadi sandaran untuk kehidupan sehari. Bukan hanya untuk tinggal. Selain mencari hasil hutan, mereka juga kerap berburu, berladang, dan berkebun. Saat zaman penjajahan pegunungan itu dijadikan tempat untuk bersembunyi dari kejaran musuh.
Beberapa tempat disakralkan. Mereka yakin bahwa Gunung Beratus, salah satu puncak Pegunungan Meratus, adalah tembok. Warga menyebut gunung itu sebagai Tundan Nungan
Di Pereng Taliq, berkembang cerita turun-temurun tentang terbentuknya Gunung Beratus. Di mana gunung itu terbentuk setelah dua leluhur suku Dayak Basap Meratus, Ayus, dan Silu, terlibat pertengkaran. Ayus berusaha menahan serangan saudaranya dengan menopang tanah. Topangan itulah yang menjadi Gunung Beratus.