Hijrah karena Wabah, Belum Tersentuh Listrik Negara

- Minggu, 29 Maret 2020 | 10:33 WIB
Jalan masuk menuju Pereng Taliq.
Jalan masuk menuju Pereng Taliq.

Di tengah zaman yang semakin modern, Kampung Pereng Taliq mengejar ketertinggalan. Sembari mempertahankan budaya yang semakin dilupakan.

 

EDWIN AGUSTYAN, Pereng Taliq-Kubar

DENDANG melangkah gontai menuruni kaki Pegunungan Meratus. Bersama seribuan warga Dayak Basap lainnya mereka harus meninggalkan kampung halaman. Wabah yang menyerang sudah tidak sanggup diatasi. Solusinya hanya satu; hijrah.

Itu adalah keempat kalinya mereka berpindah tempat. Namun, baru kali pertama karena terserang wabah. Dalam sehari, penduduk bisa mengubur dua sampai tiga jenazah.

Selama sepekan mereka menyusuri rimba. Sapo Anau, sebuah kawasan di tepi Sungai Nungan, jadi pilihan. Walau sebagian masih berupa rawa. Perjalanan panjang itu dilakukan sekitar 1969. “Saya tidak tahu persisnya. Dulu masih anak-anak,” kata Dendang.

Kepindahan itu perlahan mengurangi korban. Meski, tetap saja ada korban jiwa. Perlahan, mereka menata kembali kehidupan. Kini tempat Dendang bermukim lebih dikenal dengan Kampung Pereng Taliq. Masuk wilayah Kecamatan Bongan, Kutai Barat.

Meski sudah berbilang warsa berlalu sejak hijrah, Pereng Taliq seperti masih hidup dalam masa lampau. Tak ada listrik. Sempat ada tiga generator set (genset) bantuan dari perusahaan. Itu digunakan untuk mengalirkan setrum ke rumah warga. Namun, sekarang dalam kondisi rusak.

Warga akhirnya secara mandiri membeli genset. Beberapa ada yang berbagi dengan tetangga. Selebihnya, memanfaatkan lampu dinding. Genset difungsikan saat matahari kembali ke peraduan.

Kondisi itu nyatanya semakin memupuk rasa kebersamaan. Mereka yang tak menikmati listrik berduyun ke rumah jirannya. Menonton televisi bersama. Walau yang dipertontonkan film animasi, warga paruh baya tetap asyik menikmati.

Yang lainnya mengobrol ditemani penganan ringan dan segelas kopi. Sesekali mengecek telepon genggam yang tertancap kabel pengisi daya.

Kami beruntung, karena selama di Pereng Taliq tinggal di kantor kepala desa. Siang terkadang pegawai desa menyalakan genset. Malam pun masih bisa tidur menggunakan kipas angin. Listrik berhenti mengalir selepas salat Subuh.

Sementara itu, air masih memanfaatkan aliran Sungai Nungan. Baik untuk mandi, cuci, dan kakus. Plus masak dan minum untuk sebagian rumah. Karena minim saringan, air yang digunakan masih berwarna cokelat. Dan sedikit berbau. Warga mengalirkan air ke rumahnya menggunakan pompa. Tandon-tandon disebar di beberapa titik wilayah desa untuk memudahkan penampungan.

Jangan terlalu berharap mendapatkan jaringan internet. Bisa mengirim pesan pendek atau telepon sudah merupakan anugerah. Itu pun hanya di titik tertentu. Geser sedikit, signal sudah menguap. Hilang.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X