Dosen dan mahasiswa dituntut untuk bisa menguasai aplikasi pendukung kuliah daring. Istilah metode sinkron dan asinkron harus dipahami. Berpengaruh pada aplikasi yang akan dipilih. Harus jeli, karena aplikasi dari kedua metode itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
YASMIN MEDINA
BERAGAM aplikasi mulai bertebaran. Saking banyaknya pilihan, ada mahasiswa dan dosen yang masih kebingungan. Menurut Dedy Cahyadi, dosen Program Studi Ilmu Komputer, Universitas Mulawarman (Unmul), kuliah daring bisa dilakukan melalui dua metode yakni sinkron dan asinkron.
Sinkron berarti tetap terjadi tatap muka lewat web meeting. Sedangkan asinkron, berarti mahasiswa tak perlu bersamaan pada waktu yang sama. Sebatas dosen memberi materi perkuliahan pun bisa. Ada beberapa aplikasi untuk metode sinkron. Yakni, Google Hangout/Meet, Microsoft team, Skype, Zoom, dan Teamlink.
Sedangkan untuk metode asinkron antara lain Moodle, Google Classroom, dan MOLS. (Lihat grafis).
Terakhir ada MOLS. Dikembangkan secara mandiri oleh Unmul dan ada ketersediaan SDM untuk memodifikasi sesuai kebutuhan kampus. Sudah bisa digunakan untuk menyampaikan materi, kuis, UTS, dan UAS. “Namun, memang masih perlu peningkatan di beberapa fitur seperti integrasi dengan sistem informasi akademik kampus, import dan export ke sistem e-learning lain, backup dan restore. Selain itu, optimasi programming atau databese-nya lambat, namun itu bisa direduksi,” ungkap Dedy.
Firzatullah Akbar, mahasiswa Ilmu Komputer Unmul juga menyampaikan pendapatnya. Dia menyebut, aplikasi yang sejauh ini dipakai adalah Zoom, MOLS, dan WA. Mengenai kuliah online, salah satu kendalanya ada di kuota internet.
Beberapa rekannya bahkan harus mencari tempat supaya bisa mendapat wifi gratis. “Interaksi terasa agak terbatas dan kurang fokus. Kesannya beda, saya tetap memilih kelas konvensional. Lebih leluasa juga kalau bertanya misalkan enggak ngerti,” tutup Firza. (habis/dns/k8)