JAKARTA- Anggota parlemen semakin kritis menyoroti rencana pemindahan ibu kota negara (IKN). Mereka pun mengusulkan, selain diatur dalam undang-undang, proyek besar itu juga harus dicantumkan dalam haluan negara. Ketika ada pergantian presiden, pemerintah tidak bisa seenaknya mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, pihaknya mendukung rencana presiden untuk memindahkan ibu kota. Namun, proyek prestisius itu harus diikat dengan satu ketentuan yang mengikat seluruh bangsa.
Jika hanya diikat dengan undang-undang saja, ketika nanti ada pergantian presiden, maka dalam hitungan hari, presiden baru bisa mengeluarkan perppu. Kalau itu yang terjadi, semua rencana tersebut tidak akan berlanjut.
Untuk itu, dia mendorong terwujudnya pokok-pokok haluan negara, salah satunya untuk mengatur dan mengunci rencana tersebut. Bamsoet mengatakan, rencana itu akan menjadi menjadi kesepakatan nasional. "Kita harus pindah ibu kota dan dituangkan dalam TAP MPR," terang dia saat menjadi pembicara dalam diskusi publik di Media Center DPR RI (11/3).
Sementara itu, Teras Narang, anggota DPD RI mengatakan, saat ini mulai muncul pertanyaan, apakah pemindahan ibu kota jadi dilakukan? "Jadi nggak nih barang? Kami pesimis di dalam keoptimisan," terangnya.
Menurut dia, walaupun nanti semua partai politik mendukung pemindahan ibu kota, tapi proyek besar itu harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Sebab, pemindahan ibu kota bukan proyek main-main. Membuat ibu kota baru bukan lah pekerjaan mudah.
Ketua Komite I DPD itu mengatakan, dirinya pernah menyampaikan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan Timur bahwa mereka harus siap dengan tata ruang yang baru. Jadi, lahan seluas 256 ribu hektar yang akan digunakan IKN harus dikeluarkan terlebih dahulu dari tata ruang Kalimantan Timur.
Dua kabupaten yang akan ditempati IKN, yaitu Kutai Kartanegara dan Penajam Paser dikeluarkan dari tata ruang yang ada sekarang. Jika sekarang provinsi di Kalimantan ada lima, maka nanti akan bertambah satu menjadi enam provinsi. Menurut dia, provinsi baru itu akan menjadi IKN. "Saya tidak tahu apa namanya nanti," kata dia.
Jadi, pembenahan di daerah harus dilakukan terlebih dahulu dengan membuat peraturan daerah (Perda) yang mengatur tata ruang baru. Jangan sampai nanti terjadi konflik. Misalnya, Kalimantan Timur tidak mau membuat perda dan tidak ingin melakukan pemisahan.
Teras mengatakan, proses hukum seperti itu yang kadang tidak dipikirkan secara detail. Padahal, Indonesia merupakan negara hukum. Satu jengkal tanah di republik ini selalu ada pemimpinannya. "Ada desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten sampai provinsi," papar dia. Masalah di daerah harus diselesaikan.
Jangan sampai persoalan itu belum selesai, tiba-tiba Presiden Jokowi mau menunjuk kepala Badan Otoritar IKN. Persoalan legalitas saja belum selesai. Selain soal tata ruang, juga ada RUU IKN yang harus dibahas dan disahkan. "Kalau semua unsur legalnya sudah ada, baru dibentuk," ungkap Teras Narang. (lum)