Pembatalan Kenaikan Iuran Masih Pro-Kontra

- Rabu, 11 Maret 2020 | 15:12 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA -- Pembatalan kenaikan iuran BPJS Kesehatan mendapat beragam tanggapan dari berbagai pihak. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) menyambut baik putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung mengenai pembatalan itu, namun juga memberikan sejumlah catatan. 

Kuasa hukum KPCDI Rusdiyanto memahami bahwa kenaikan iuran itu diberlakukan sebelumnya sebagai usaha mengatasi defisit. BPJS Kesehatan kerap mengalami defisit dan nominalnya selalu bertambah setiap tahun. Tetapi, dengan kenaikan iuran sampai seratus persen, Rusdiyanto berpendapat tidak logis jika hanya untuk menutupi defisit. Bakal ada keuntungan di situ.

"Di sisi lain memang ada momentum BPJS selalu defisit dan sekarang hampir Rp 15 triliun, itu diharapkan dengan menaikkan iuran bisa menutupi defisitnya, pasti ada keuntungan. Kamj meramalkan akan seperti itu," ujar Rusdiyanto (10/3).

Kenaikan juga tidak dibarengi dengan asas transparansi. Menurut Rusdi, tidak ada informasi yang jelas yang disampaikan ke masyarakat mengenai perhitungan kenaikan tersebut, berapa sebenarnya kenaikan yang dibutuhkan untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan. Dia mencoba membandingkan dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang meskipun sempat diprotes, tetapi ada perhitungan dan alasan yang bisa diterima masyarakat.

Ketika bicara soal BBM, masyarakat masih bisa menggunakan alternatif lain seperti kendaraan umum. Tetapi hal itu tidak berlaku untuk layanan kesehatan. "Masyarakat tidak punya pilihan lain karena sifatnya ini wajib, masyarakat butuh fasilitas kesehatan, kalau tidak sanggup bayar akan kena denda, akan kesulitan mendapatkan akses kesehatan," lanjutnya.

Jika kondisi keuangan BPJS Kesehatan terus defisit, lanjut dia, maka seharusnya ada evaluasi dan audit keuangan dari pihak yang berwenang. Rusdi menyebutnya dengan kemungkinan adanya mismanajemen yang akhirnya membebani masyarakat peserta BPJS Kesehatan, khususnya pasien. "Kita melihat bagaimana BPJS bisa merugi dengan memberi kesempatan lembaga auditor untuk mengecek keuangan dia," tegasnya.

Jawa Pos mencoba untuk mendalami dari sisi majelis hakim terkait putusan tersebut. Namun, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan bahwa putusan untuk publik memang hanya disampaikan melalui jubir saja. Sehingga tidak ada keterangan lebih jauh dari hakim selain dalam bentuk amar putusan.

Analis asuransi Ivan Rahardjo menyayangkan keputusan MA membatalkan kenaikan iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) BPJS Kesehatan. Menurutnya kenaikan iuran ini merupakan salah satu cara ampuh menyehatkan lembaga jaminan kesehatan nasional itu. "Kenaikan iuran itu sebuah keniscayaan," ungkapnya kepada Jawa Pos. 

PBPU atau peserta mandiri ini menurutnya berisiko membayar iuran ketika sakit saja. Ketidakpatuhan ditambah dengan iuran batal naik akan menjadi beban bagi BPJS Kesehatan. Apalagi lembaga yang dipimpin Fachmi Idris itu juga banyak pekerjaan rumah untuk mengatasi kebocoran lainnya. 

Menurut hasil audit BPKP, ada beberapa hal yang harus dikerjakan BPJS Kesehatan untuk memperbaiki keuangannya. Diantaranya adalah penyesuaian data kepesertaan, kepatuhan iuran, hingga mengatasi kecurangan pembayaran. 

Ivan menyatakan bahwa pekerjaan rumah dari BPKP  tersebut harus dijalankan beriringan dengan kenaikan iuran. JIka tidak, maka tetap akan terjadi defisit.   "Iuran sejalan dengan layanan," ungkapnya. Dia khawatir jika iuran tidak naik maka akan mempengaruhi layanan. Termasuk salah satunya adalah membayar klaim kepada rumah sakit. Hal ini tentu berdampak pada peserta BPJS Kesehatan juga. 

Menurutnya, BPJS Kesehatan ini memberikan banyak keuntungan. Jika dibandingkan dengan asuransi swasta, iuran BPJS Kesehatan lebih murah. Selain itu, penyakit dan tindakan medis yang ditanggung lebih banyak.

Hal tersebut menurut Ivan menjadi pedang bermata dua. Selain memberikan dampak positif, layanan bagi seluruh jenis penyakit akan memberatkan BPJS Kesheatan. Untuk itu dia menyarankan bagi penderita penyakit katastropik, selain membayarkan iuran juga menanggung sebagian biaya pembayaran. "5 persen saja dari biaya pengobatan," katanya.  Hal tersebut sudah lazim dilakukan di luar negeri. Dia mencontohkan Amerika Serikat dan Jerman. JIka hal ini dilakukan maka beban BPJS Kesehatan akan semakin ringan. 

Terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, keputusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan membawa konsekuensi bagi keberlangsungan JKN dan berdampak kepada seluruh rakyat Indonesia. 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X