PSIKOLOG klinis, Ayunda Ramadhani menyikapi kekerasan perempuan dan anak dilatarbelakangi oleh sistem patriarki. Yaitu, sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama.
“Sistem budaya yang masih menganut patriarki, membuat laki-laki dianggap gender yang lebih dominan dibanding perempuan,” kata Ayunda.
Menurut dia, sistem patriarki juga membuat kekerasan yang terjadi dianggap lumrah. Kekerasan yang terjadi dipandang sebagai cara kepala rumah tangga membina keluarganya. “Sebenarnya itu sistem yang salah. Permasalahannya itu sudah mengakar dengan kuat,” ungkap Ayunda.
Tak jarang jika terjadi permasalahan, perempuan yang dipermasalahkan terlebih dahulu. Mulai waktu hingga busana yang dikenakan. “Salahnya ya sebenarnya di otak pelakunya,” beber perempuan yang juga berprofesi dosen tersebut.
Adanya ketidakseimbangan relasi antara pria dan perempuan di mata masyarakat, sehingga sangat rentan terjadi KDRT. Terkadang masyarakat juga tak peduli, lantaran takut mencampuri urusan rumah tangga.
Kekerasan yang terjadi juga kerap didasari untuk pelampiasan emosi. “Kalau untuk pembelajaran atau nasihat nggak harus dengan kekerasan, Rasulullah saja nggak main pukul,” ungkapnya.
Tak jarang, korban dari kekerasan mengalami trauma. Ayunda berharap, masyarakat ikut berperan untuk menekan angka kekerasan terhadap perempuan. Rasa sungkan untuk melaporkan menjadi faktor terbesar KDRT terus terjadi.
“Jangan dibiarkan (KDRT), jika sungkan atau takut bisa pakai aplikasi Sippeka (Sistem Informasi Pelaporan dan Pengaduan Kekerasan Kota Samarinda), ada di PlayStore. Pelapor dijaga privasinya,” pungkasnya. (*/dad/kri/k8)