Karena Wabah Corona, Petakan Ulang Ekspor-Impor

- Rabu, 4 Maret 2020 | 11:59 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA– Wabah korona memengaruhi aktivitas ekspor-impor dari dan ke Tiongkok. Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan Syarif Hidayat menyatakan bahwa devisa negara dari impor hingga akhir Februari merosot 51,16 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

’’Terjadi perubahan dari Januari ke Februari. Devisa negara anjlok,’’ ujar Syarif kemarin (3/3). Dia menyebut impor dari Tiongkok merosot jika dibandingkan negara-negara mitra dagang lainnya. Misalnya Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Singapura. Penurunan impor terbesar terjadi pada barang mesin, tekstil, hingga ponsel.

’’Ekspor ke China relatif stabil, tapi impornya memang turun. Harusnya ini pertanda baik karena artinya net export atau selisih defisitnya mengecil,’’ tambah Syarif.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, pemerintah perlu mengamankan pasar dalam negeri. ”Demand domestik kita kuat, itu harus dijaga. Kita juga harus memaksimalkan kinerja sektor industri agar berkontribusi optimal terhadap pasar dalam negeri,” urainya.

Untuk barang konsumsi yang mampu diproduksi di dalam negeri, sebaiknya pemerintah tidak perlu impor. Setelah mampu meningkatkan pangsa pasar domestik, pemerintah harus mencari tujuan pasar ekspor alternatif. Juga, menyusun langkah untuk melakukan penetrasi pasar produk ekspor lebih luas.

Di sisi lain, Heri menyebut Indonesia harus segera mencari dan memetakan negara lain sebagai alternatif mengganti peran Tiongkok untuk pasokan impor bahan baku. Dengan syarat, memiliki barang yang sama kompetitifnya.

Di sektor manufaktur, Indonesia mengimpor banyak bahan baku dari Tiongkok. Apalagi, Wuhan adalah kota industri dan jasa. Banyak pabrikan mulai industri hilir, menengah, hingga bahan baku. Wabah korona membuat suplai bahan baku macet. Misalnya, bahan baku untuk barang elektronik maupun otomotif yang sangat bergantung dari Negeri Panda itu.

”Tiba-tiba mereka stop atau kurang, pasti kita akan kena shock. Pasti terganggu,” ujar Heri. Akibatnya, akan muncul kelangkaan barang, minimnya produksi, inflasi, dan memengaruhi daya beli masyarakat.

Untuk ekspor, Indonesia mengirim banyak batu bara dan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar hidupnya industri di Tiongkok. Dengan melambatnya aktivitas ekonomi di sana, tentu kuantitas ekspor Indonesia juga berkurang. ”Jika tidak segera, keburu mengalami kelangkaan duluan. Kita berpacu dengan waktu,” imbuh Heri.

Sementara itu, industri mamin Jatim mulai mengalihkan impor ke Jepang, Korsel, Vietnam, dan Kamboja. ”Sekarang masih aman. Namun, kalau kondisi seperti ini terus sampai lima bulan ke depan, pasti pengusaha juga kebingungan,” terang Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Jatim Yapto Willy Sinatra.

Pengamat Ekspor Impor Jatim Medy Prakoso juga menjelaskan, kinerja importer Jatim selama triwulan pertama ini memang merosot 15–25 persen. ”Sebenarnya sebelum ada virus pun sudah menurun karena tahun lalu banyak libur sekolah dan libur panjang,” ucapnya.

Terkait permasalahan bahan baku, lanjut Medy, pengusaha sudah mengantisipasi. Produsen yang selalu butuh buah-buahan impor sudah beralih ke buah lokal yang bisa ditemukan di pasar. Kemudian, untuk bahan baku yang tidak bisa didapat dari dalam negeri, beberapa importer mulai mengambil suplai ke negara lain. (dee/han/car/res/c17/hep)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X