Jadi Negara Maju, Indonesia Layak?

- Sabtu, 29 Februari 2020 | 10:55 WIB
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Senayan, Jakarta.  United State Trade Representative (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Menurut mereka, Indonesia sudah layak masuk dalam kelompok negara maju dalam bidang perdagangan internasional. Dua alasan utamanya, share pasar ekspornya sudah di atas 0,5 persen dan tercatat sebagai anggota G-20. (JawaPos)
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Senayan, Jakarta. United State Trade Representative (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Menurut mereka, Indonesia sudah layak masuk dalam kelompok negara maju dalam bidang perdagangan internasional. Dua alasan utamanya, share pasar ekspornya sudah di atas 0,5 persen dan tercatat sebagai anggota G-20. (JawaPos)

JAKARTA– United State Trade Representative (USTR) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang. Menurut mereka, Indonesia sudah layak masuk dalam kelompok negara maju dalam bidang perdagangan internasional. Dua alasan utamanya, share pasar ekspornya sudah di atas 0,5 persen dan tercatat sebagai anggota G-20.

Bagi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dua indikator itu saja tidak cukup untuk menasbihkan Indonesia sebagai negara maju. Meskipun sekadar dibilang maju di bidang perdagangan. Sebab, untuk bisa disebut negara maju, ada indikator penting lain yang menjadi ukuran. Yakni, capaian pendapatan per kapita dan kesejahteraan sosial.

Peneliti Indef Ahmad Heri Firdaus menilai, perubahan status Indonesia menjadi negara maju dalam perdagangan internasional hanyalah akal-akalan Amerika Serikat (AS). Belakangan, tren neraca perdagangan AS defisit terus terhadap negara-negara mitra. Termasuk terhadap Indonesia. Karena itu, Indef mengusulkan agar pemerintah menolak perubahan status tersebut.

”Berdasar data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia dan AS surplus USD 8,5 miliar (sekitar Rp 121,8 triliun) sepanjang 2019. Nah, mereka (AS) mau mengurangi defisitnya,” beber Heri di ITS Office Tower, Pasar Minggu, Kamis (27/2) lalu.

Jika status negara berkembang dicabut, perdagangan Indonesia akan terhambat. Sebab, sebagai negara maju, Indonesia tidak akan lagi mendapatkan fasilitas GSP (generalized system of preferences). GSP merupakan kebijakan perdagangan yang dianut suatu negara dengan memberikan potongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Kebijakan itu diaplikasikan negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang.

Dengan mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara berkembang, AS berhak memberlakukan tarif bea impor terhadap produk ekspor tanah air. ”Implikasinya, produk ekspor Indonesia menjadi lebih mahal di pasar AS,” kata Heri. Karena itu, produk-produk Indonesia harus benar-benar bisa bersaing, baik dari segi kualitas maupun harga.

Simulasi Global Trade Analysis Project (GTAP) menunjukkan bahwa pemberlakuan tarif impor akan membuat kinerja ekspor Indonesia ke AS turun sampai 2,5 persen. Produk-produk yang rawan terdampak adalah tekstil, alas kaki, karet, minyak kelapa sawit, mineral dan pertambangan, serta komponen listrik. ”Dengan asumsi, meningkat 5 persen dari posisi tarif saat ini,” imbuh Heri.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti menyatakan bahwa biasanya yang mengelompokkan negara dalam kategori berkembang atau maju adalah Bank Dunia atau IMF. Dasarnya adalah pendapatan per kapita. Dari situ akan menggambarkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat suatu negara.

”Ya sebenarnya, kurang tepat. Karena perhitungannya (oleh USTR) lain. Indonesia merupakan kategori berpendapatan menengah-bawah,” kata Destry mengacu pada indikator Bank Dunia dan IMF.

Untuk bisa disebut maju, sebuah negara juga harus punya infrastruktur yang memadai. Satu daerah dan lainnya juga harus terkoneksi dengan baik. ”Di Indonesia, Anda bisa menilai sendiri bagaimana kondisinya,” lanjut Destry.

Menurut dia, AS, khususnya USTR, tidak menggunakan pendapatan per kapita sebagai patokan. Yang dijadikan acuan adalah peran dagang Indonesia di dunia. Terutama dengan AS. Kendati demikian, Destry memilih untuk berpikir positif. Dia bersyukur perdagangan Indonesia dianggap maju. Namun, dia berharap, penilaian USTR itu tidak akan memengaruhi GSP secara global. ”Ini bergantung komunikasi pemerintah kita dengan AS,” jelasnya. 

 

Waspadai Bea Masuk Antisubsidi

 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X