Pemilihan DPRD Boleh Gabung Pilkada, Yang wajib Serentak Hanya Pilpres, Pileg DPR dan DPD

- Kamis, 27 Februari 2020 | 13:42 WIB

JAKARTA-Tafsir atas desain keserentakan pemilu akhirnya menemui kejelasan. Meski gugatan yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ditolak, namun dalam putusannya Mahkamah Konstisusi (MK) menjelaskan desain keserantakan konstitusional yang bisa digunakan dalam Pemilu mendatang.

Dalam penjelasannya, MK menegaskan keserentakan pemilu tidak harus menggabungkan pemilihan Presiden, pemilihan DPR, pemilihan DPD, pemilihan DPRD Provinsi dan pemilihan DPRD Kabupaten/Kota. Namun yang wajib dibarengkan hanya pemilihan Presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD. Pasalnya, menggabungkan tiga pemilu tersebut dibutuhkan sebagai upaya memperkuat sistem presidensial yang dipilih Indonesia.

Oleh karenanya, peninjauan dan penataan ulang desain keserentakan untuk Pemilu 2024 dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah prinsip dasar keserentakan pemilu dalam praktik sistem pemerintahan presidensial. "Yaitu tetap mempertahankan keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan rakyat tingkat pusat yaitu DPR dan DPD dengan pemilihan presiden dan wakil presiden," kata hakim MK Saldi Isra saat membacakan putusan di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta.

Sementara untuk pemilihan DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Pemilihan Gubernur dan Bupati/Walikota, MK memberikan keleluasaan. Boleh digabungkan ataupun dipisahkan dari pemilu nasional. Tergantung mana yang lebih tepat.

Dalam pertimbangannya, MK juga memberikan beberapa alternatif terkait desain keserentakan yang bisa digunakan. Mulai dari menggabungkan pemilihan DPRD ke pemilu nasional, hingga menggabungkan pemilihan DPRD ke pilkada. (selengkapnya lihat grafis).

Berbagai alternatif tersebut, kata Saldi, bisa dipilih oleh pembuat undang-undang, dalam hal ini pemerintah dan DPR RI. "Mahkamah tidak berwenang menentukan model pemilihan serentak di antara varian pilihan model yang telah dipertimbangkan," kata Saldi.

Meski demikian, dalam menentukan desain mana yang akan dipilih, MK memberikan sejumlah warning ke pada DPR dan Pemerintah. Pertama, pemilihan model dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang terkait dengan kepemiluan. Kedua, perubahan UU harus dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk mensimulasi berbagai alternatif sebelum perubahan dilaksanakan.

Ketiga, memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia demi terciptanya pemilu yang berkualitas. Keempat, memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak politiknya.

"Kelima, tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum," tuturnya.

Untuk diketahui, dalam gugatannya, Perludem menggugat pasal 167 ayat 3 dan pasal 347 ayat 1 UU Pemilu, serta pasal 3 ayat 1 dan 201 ayat 7 dan ayat 9 UU Pilkada. Pada intinya, Perludem menghendaki keserentakan pemilu hanya dibagi menjadi dua gelombang. Pertama Pemilu nasional yang terdiri dari Pimilihan Presiden, Pemilihan DPR, dan Pemilihan DPD. Kedua, pemilu daerah yang terdiri dari Pemilihan Gubernur, Pemilihan Bupati/Walikota, Pemilihan DPRD Provinsi dan Pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.

Saat dikonfirmasi terkait putusan MK, peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan, meski ditolak, pihaknya cukup puas dengan putusan tersebut. Pasalnya, dengan adanya tafsir dari MK, hal itu memberikan kejelasan di tengah kegamangan dalam merumuskan revisi UU Pemilu tahun ini. "Dan apa yang kita minta juga masuk dalam alternatif keserentakan yang tadi disebutkan MK," ujarnya.

Fadli menambahkan, putusan MK memberikan batasan yang sangat mendasar soal desain pemilu di Indonesia. Di mana dikatakan bahwa pemilu yang konstitusional itu pemilu yang menyerentakkan pemilihan DPR, DPD dan presiden. "Itu yang tidak boleh dipisahkan. Untuk DPRD, kepala daerah, MK memberikan pilihan silahkan pembentuk UU yang memilih," imbuhnya.

Selain itu, lanjut dia, adanya batasan untuk tidak memberikan beban secara teknis ke penyelenggara, pemilih dan peserta juga menjadi petunjuk bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan. Perludem sendiri mengusulkan pemilu serentak dibagi ke dua golongan. Sehingga pemilu borongan yang mengakibatkan banyak korban dalam Pemilu 2019 tidak lagi terjadi.

Pria berdarah Minang itu juga meminta Pemerintah dan DPR untuk membahas desain RUU Pemilu secara konprehsnsif. Sehingga konsepnya bisa dijalankan dalam waktu yang lama. Tidak berubah-ubah setiap lima tahun sekali sebagaimana diingatkan MK.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X