RUU Cipta Kerja Hapus Sanksi Pidana Penipuan Haji Khusus dan Umrah

- Rabu, 26 Februari 2020 | 10:22 WIB

JAKARTA– Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) ternyata menabrak Undang-Undang 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU). Ketentuan sanksi pidana untuk kejahatan penipuan haji khusus dan umrah dihapus dalam RUU Ciptaker. Diganti menjadi sanksi administratif.

Ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan atau penipuan haji khusus di UU 8/2019 tentang PHU diatur dalam pasal 125. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa penyelenggara ibadah haji khusus (PIHK) yang sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan jamaah haji khusus dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10 miliar.

Kemudian di pasal 126 diatur soal penjatuhan sanksi bagi penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU) yang menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran atau kegagalan kepulangan jamaah umrah. PPIU yang terbukti melakukan pelanggaran itu dijatuhi pidana penjara maksimal 10 tahun atau pidana denda maksimal Rp 10 miliar.

Nah di dalam draft RUU Ciptaker yang beredar ketentuan sanksi pidana untuk PIHK dan PPIU yang melanggar ketentuan itu dihapus. Ketentuan ini tertuang dalam Pasal 75 RUU Ciptaker. Bunyinya adalah PIHK yang dengan sengaja menyebabkan kegagalan keberangkatan, penelantaran, atau kegagalan kepulangan jamaah haji khusus dikenai sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp 10 miliar.

Selain itu PIHK juga dikenai sanksi berupa kewajiban untuk mengembalikan biaya sejumlah uang yang telah disetorkan oleh jamaah haji khusus. Jika PIHK tidak bisa memenuhi sanksi administratif dan pengembalian uang itu, baru dipidana penjara maksimal 10 tahun. Aturan serupa juga diterapkan untuk PPIU.

Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Siradj menyoroti aturan tersebut. Alih-alih ingin mempermudah perizinan PIHK dan PPIU baru, RUU Ciptaker justru berpeluang merugikan calon jamaah haji khusus maupun umrah. Dia mengatakan kalau pemerintah berniat mempermudah proses perizinan pembentukan PIHK dan PPIU baru, tidak perlu mengutak-atik aturan sanksi di UU 8/2019 tentang PHU.

’’Apalagi UU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah ini belum genap setahun usianya,’’ kata dosen hukum bisnis UIN Syarif Hidayatullah itu. Dia mengatakan jika pemerintah berniat mempermudah proses perizinan pendirian PIHK atau PPIU, cukup mencabut atau merevisi Peraturan Menteri Agama (PMA) 8/2018 tentang Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah (PPIU). Diantara klausul yang memberatkan adalah untuk mendirikan PPIU, harus mengantongi izin sebagai biro perjalanan wisata (BPW) minimal dua tahun. Dengan ketentuan ini, Mustolih mengatakan paling cepat izin PPIU baru keluar setelah tiga tahun. Bahkan bisa sampai lima tahun.

Kemudian syarat untuk mendirikan PIHK harus mengantongi izin sebagai PPIU terlebih dahulu. Menurut dia ketentuan pendirian PIHK sebaiknya tidak ada kaitannya dengan izin PPIU. Jadi bisa lebih mudah proses perizinannya. Dia menegaskan draft di RUU Ciptaker yang menghapus sanksi pidana untuk kasus penipuan dan penelantaran haji khusus maupun umrah direvisi.

Menurut dia sanksi pidana yang berat di dalam UU 8/2019 tentang PHU itu buntut dari meledaknya kasus umrah dan haji khusus di beberapa travel. Seperti di First Travel, Abu Tour, dan Hannien Tour. Pemerintah bersama DPR membuat ketentuan pidana yang besar supaya travel umrah dan haji khusus lebih hati-hati melayani jamaah.

Sampai tadi malam jajaran Kementerian Agama (Kemenag) belum memberikan tanggapan soal penghapusan pasal sanksi pidana untuk kejahatan umrah dan haji khusus itu. Kepala Biro Data, Informasi, dan Humas Kemenag Suhaili belum bersedia berkomentar. (wan)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X