Kesultanan Kutai Kartanegara (Kukar) Ing Martadipura berharap kepala daerah di Kaltim melestarikan budaya. Salah satunya Kutai.
NOFIYATUL CHALIMAH, Tenggarong
ALUNAN musik tingkilan menyambut, ketika langkah memasuki aula Kedaton Kesultanan Kutai Kartanegara (Kukar) Ing Martadipura, Tenggarong Sabtu (22/2). Sebuah kesultanan yang dahulu memerintah sebagian Kaltim. Mulai Kutai Kartanegara, Samarinda, Balikpapan, bahkan Paser.
Kini, Kesultanan Kukar Ing Martadipura dipimpin Sultan Aji Muhammad Arifin. Eksistensi kesultanan itu terus diakui. Meski, pemerintahan di Benua Etam tak lagi dipimpin kesultanan. Namun, sejarah dari mana peradaban berasal, tak mesti dilupakan. “Biasanya, tiap ada pemimpin baru itu ada upacara beluluh,” kata Aji Pangeran Ario Putro Amijoyo, kerabat kesultanan, ketika menyambut tamu di Kedaton Kesultanan Kukar kemarin.
Upacara beluluh adalah upacara yang diperuntukkan pemimpin. Tujuannya, mensucikan pemimpin tersebut, sehingga siap memimpin rakyat. Biasanya, upacara beluluh dilakukan untuk sultan pada perayaan Erau yang diakhiri dengan belimbur alias upacara dengan saling menyiramkan air oleh masyarakat.
Hal itu diucapkan Aji Pangeran Ario Putro Amijoyo, lantaran Kaltim bakal menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) di sembilan kabupaten/kota. Artinya, bakal banyak calon pemimpin baru. Gelaran upacara itu pun diharapkan untuk melestarikan budaya.
Sementara itu, Sekretaris Kedaton Kukar Ing Martadipura Awang Yacoub Luthman mengatakan, besar harapan kesultanan agar para pemerintah kota/kabupaten tak melupakan sejarah serta budaya daerahnya berasal. Seperti kepada Samarinda, Awang menyebut agar nama Aji Pangeran Anom Panji Mendapa bisa dikenal di Samarinda. “La Mohang Daeng Mangkona itu bagian dari datuk kami dari Bugis yang meminta restu pada Pangeran Anom Panji Mendapa,” bebernya.
Tapi selama berjalannya waktu, nama Daeng Mangkona yang lebih dikenal. Sedangkan nama Pangeran Anom Panji Mendapa tenggelam. Maka pesan sultan berharap bisa mengembalikan nama Aji Pangeran Anom Panji Mendapa. “Karena beliau yang memberi restu dan simbol Samarendah. Jadi, nama Samarendah itu keluar dari mulut Aji Pangeran Anom Panji Mendapa,” ungkap Awang kepada awak media.
Di sisi lain, Sultan Aji Muhammad Arifin berharap pilkada bisa berlangsung lancar. Meski berbeda pilihan dan berbagai calon yang maju, kerukunan harus tetap dijaga. Juga, dia berterima kasih jika para kepala daerah berkomitmen menganggarkan pembiayaan melestarikan budaya Kutai, yang selama ini masih sedikit dianggarkan atau mungkin tak dianggarkan.
“Pembiayaan ini bukan untuk operasional sultan. Tetapi, untuk pelestarian budaya Kutai. Hari ini kabupaten yang sudah representatif adalah Kutim dan Kukar. Insyaallah semoga Samarinda menyusul,” imbuh Awang Yacoeb.
Pada 1959, kekuasaan kesultanan ini dipecah jadi tiga. Hal itu berdasar UU Nomor 27/1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan. Kutai menjadi Daerah Tingkat II Kutai yang ibu kotanya Tenggarong, Kotapraja Balikpapan, dan Kotapraja Samarinda.
Awal 1960, kepala daerah tiga wilayah itu dilantik. Lalu, sehari setelahnya, dilakukan penyerahan kekuasaan dari Kepala Daerah Istimewa Kutai Sultan Aji Muhammad Parikesit terhadap para kepala daerah ini.