Banyak beach club di Bali. Namun, baru Potato Head yang punya Sustainism Lab. Pusat daur ulang beragam limbah. Sampah plastik, kertas bekas, hingga sisa makanan diolah menjadi produk bernilai guna.
SAHRUL YUNIZAR, Badung, Jawa Pos
LEBIH dari satu setengah tahun terakhir Dewa Legawa bergerak di bidang lingkungan. Mengolah sampah adalah spesialisasinya. Bersama rekan-rekannya di Sustainism Lab, sehari-hari dia mendaur ulang sampah Potato Head.
Rata-rata per bulan ada 56 ton sampah yang dihasilkan. Sebanyak sampah satu dusun. ’’Ratusan orang datang ke sini setiap hari,’’ kata Dewa pada Senin (17/2).
Pengelola beach club yang berbasis di Seminyak, Bali, itu sadar bahwa jumlah sampah mereka tidak sedikit. Itulah yang mendorong pembuatan Sustainism Lab. Dewa banyak dibantu rekannya, Gede Sata Wiguna.
Keduanya merupakan Eco Champion di Sustainism Lab. Bedanya, Dewa merangkap asisten manajer sustainability. ’’Tadinya di sini tempat ngopi,’’ ungkap Dewa merujuk pada lab tempat wawancara ini berlangsung.
Setiap tamu yang keluar masuk Potato Head pasti melewati lab tersebut. Dari lorong bambu yang jadi jalan masuk tamu, lab itu berada di sebelah kanan. Mencolok karena ada beragam perkakas daur ulang sampah di sana. Alat-alat yang tidak lazim bisa ditemui tamu yang datang ke beach club.
Lebih mencolok karena perkakas tersebut dicat terang. Dominasi biru dan merah. Hasil daur ulang dipajang rapi tepat di samping lab. ’’Biasanya tamu yang datang tertarik lihat. Mereka tanya, diarahkan ke sini,’’ kata Dewa.
Dari sekadar tanya produk, mereka bisa ngobrol panjang sampai proses daur ulang sampah Potato Head. Ujung-ujungnya tanya harga. Susah dijawab karena hasil daur ulang Sustainism Lab itu belum dijual. Masih digunakan untuk kepentingan internal mereka.
Tak jarang tamu memaksa membeli. Bahkan menawar dengan harga tinggi. ’’Ada tamu yang mau sekali beli ini,’’ ucap Dewa menunjukkan kotak merah muda.
’’Itu kotak sabun,’’ kata Gede menimpali.
’’Waktu itu dibayar tamu Rp 600 ribu,’’ lanjut Dewa. Padahal, untuk membuat satu kotak sabun itu, biaya produksinya paling banyak hanya Rp 50 ribu.