RUU Ciptaker Rawan Konflik Agraria, Masyarakat Rawan Kehilangan Tanah Atas Nama Bisnis

- Jumat, 21 Februari 2020 | 14:37 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA---Kesulitan pengadaan tanah adalah salah satu dasar dari dibuatnya UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang berkarakter Omnibus Law. Meski memudahkan dunia usaha dalam pengadaan lahan, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai RUU Ciptaker akan memperluas ketimpangan dan konflik agraria.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengungkapkan, setidaknya ada 5 masalah pokok RUU Ciptaker. Mulai dari masalah pengadaan tanah, diskriminasi atas petani dan masyarkat adat, menghambar realisai reforma agraria dan memperparah konflik agraria struktural.

Catatan Akhir Tahun KPA (2019) mencatat di tahun 2019 saja terjadi 279 letusan konflik agraria seluas 734.239,3 hektar yang berdampak pada 109.042 Kepala Keluarga. Selama 5 tahun tahun terakhir telah terjadi 2.047 letusan konflik agraria di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, pesisir pulau-pulau kecil, pertanian, infrastruktur dan properti.

Sementara ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia mencapai 0.68, artinya 1 persen penduduk menguasai 68 persen tanah di Indonesia. “Apabila disahkan RUU Cipta Kerja akan memperparah situasi krisi agraria di atas,” jelas Dewi kemarin (20/2)

Alasan yang pertama kata Dewi adalah kemudahan dan prioritas pemberian hak atas tanah bagi kepentingan investasi dan kelompok bisnis dalam RUU Cipta Kerja berpotensi meningkatkan konflik agraria, ketimpangan dan kemiskinan struktural.

RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan tanah bagi perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga akan meningkatkan monopoli/penguasaan tanah. Hal ini tertuang dalam perubahan terhadap Pasal 14 dan penghapusan pasal 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan.  

Selain itu, dengan perubahan tersebut, menurut Dewi proses pengukuhkan kawasan hutan berpotensi hanya dilakukan  menggunakan pendekatan penggunaan teknologi informasi dan satelit, tanpa melibatkan masyarakat atau pemerintah desa dan mempertimbangkan kondisi penguasaan tanah di lapangan.

“Hal ini akan membuka kesempatan pada perampasan tanah masyarakat adat dan petani yang berada di pinggiran atau dalam klaim kawasan hutan.  Masyarakat akan lebih gampang kehilangan tanahnya atas nama pembangunan infrastruktur dan bisnis,” jelas Dewi.

Dewi menjelaskan, RUU Cipta Kerja hendak merubah pasal-pasal dalam UU Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Infrastruktur Demi Kepentingan Umum dengan dasar argumentasi hambatan pengadaan lahan bagi investasi dan kegiatan bisnis.

Persoalan yang bisa muncul kemudian hari diantaranya adalah bercampurnya kepentingan dunia usaha seperti investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus (KEK) ke dalam kategori pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum. ”Tujuannya agar proses pengadaan tanah semakin mudah, jadi dilabeli untuk kepentingan umum,” kata Dewi.  

Belum lagi proses pengadaan tanah dengan berdasarkan “penetapan lokasi” suatu pembangunan proyek pemerintah. Sementara dokumen lingkungan seperti AMDAL, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di luar kawasan hutan dan luar kawasan pertambangan, di luar kawasan gambut/sepadan pantai dan kajian dampak ekonomi-sosial masyarakat tidak perlu dipenuhi oleh perusahaan yang memerlukan tanah.

“Dalam kenyataannya, sejauh ini pengadaan tanah sering kali mengesampingkan prinsip keadilan karena bagi pihak yang menolak bentuk dan besaran ganti rugi, prosesnya dititipkan di Pengadilan Negeri. Sehingga mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat,” Ujar Dewi.

Dampak lain dari RUU Ciptaker adalah tanah pertanian dan jumlah petani akan semakin menyusut. Demi investasi non-pertanian, RUU Cipta Kerja bermaksud melakukan perubahan terhadap UU Nomor 41/2009  tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian pangan untuk kepentingan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), real estate, tol, bandara, sarana pertambangan dan energi.

Kemudahan proses perizinan, seperti dihapusnya keharusan kajian kelayakan strategis, rencana alih fungsi tanah dan kesesuaian rencana tata ruang wilayah akan mempercepat terjadinya perubahan lanskap tanah pertanian di Indonesia.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X