Dunia jurnalisme di Kashmir, India, mati suri. Para pekerja media tidak bisa mempertahankan profesi. Mereka harus menyerah karena blokade oleh pemerintah pusat.
SITI AISYAH, Jawa Pos
’’PARA reporter saya tidak bisa mengirim file (berita).’’ Keluhan itu terlontar dari Redaktur Kashmir Images Basheer Manzar. Dia harus memutar otak agar edisi cetak media yang dikelolanya bisa terus terbit. Sebab, dia akan kehilangan lisensi jika sampai melanggar batas maksimal tidak terbit dalam sebulan.
Edisi cetak memang kembang-kempis. Namun, edisi daring mereka malah lebih parah. Semua masalah itu bersumber dari blokade internet dan telekomunikasi yang diterapkan pemerintah India di Kashmir. Hingga saat ini, situasi di area yang pernah menjadi wilayah otonomi khusus India tersebut belum normal.
’’Saya tahu apa yang terjadi di New York melalui berita di televisi. Tapi, saya justru tidak tahu apa yang terjadi di kampung halaman saya sendiri,’’ ujarnya seperti dikutip BBC.
Dunia jurnalisme tidak bisa lepas dari akses internet dan telekomunikasi. Karena itu, blokade oleh pemerintah India sejak Agustus lalu membuat para pekerja media kalang kabut. Pemerintah memutus akses internet dan telepon sehari sebelum status Kashmir sebagai wilayah otonomi khusus dicabut. Banyak jurnalis yang kemudian harus rela melepas profesi mereka dan beralih menjadi pekerja biasa demi bisa bertahan hidup.
Muneeb Ul Islam adalah salah satunya. Pria 29 tahun itu sudah lima tahun menjadi jurnalis foto di Kashmir. Hasil karyanya dipublikasikan di India maupun luar negeri. Muneeb mencintai pekerjaannya. Karena itu, ketika blokade internet terjadi di Kashmir, dia tetap berusaha mengirimkan karyanya.
Momen ketika India mencabut status istimewa Kashmir diberitakan secara global. Muneeb juga berusaha membuat berita dan foto mengenai apa yang terjadi di tanah kelahirannya. Dia melakukan berbagai upaya untuk mengirimkan karyanya.
September tahun lalu dia bahkan menghabiskan INR 6 ribu atau setara Rp 1,2 juta untuk biaya pulang pergi dua kali ke Srinagar. Dari kota tersebut, dia bisa mengirimkan berita dan fotonya.
Muneeb tak bisa melakukannya terus-menerus. Dia harus berhenti karena kehabisan uang. Tak patah arang, dia mencari cara lain. Mengirim berita via telepon. Dia mencari telepon yang masih berfungsi, menghubungi kantor redaksi, dan membacakan beritanya.
Di seberang sana, si penerima telepon mengetikkan berita Muneeb. Sayang, cara itu juga harus dia lupakan. Bayaran yang dia dapat dari mengirim berita tersebut tidak bisa menutup biaya untuk melakukan perjalanan berjam-jam mencari telepon yang masih berfungsi.
Desember lalu pemerintah memberikan akses internet di hanya di kantor pemerintah di Anantnag. Namun, hanya ada empat komputer dengan antrean panjang yang mengular. Jelas tidak mungkin mengirimkan berita dari sana. Tiap orang hanya diberi waktu beberapa menit, sedangkan kecepatan internetnya sangat rendah. Bisa mengirim e-mail saja sudah bersyukur.