Lewat Omnibus Law, Pemerintah Dianggap Ingin Intervensi Pers

- Selasa, 18 Februari 2020 | 12:10 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA - Penolakan draf omnibus law juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Pemicunya, draf RUU yang diusulkan ke DPR tersebut ternyata juga merevisi UU 40/1999 tentang Pers. Yakni, pasal 11 dan 18. Semula, pasal 11 menyatakan bahwa penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal. Setelah direvisi, menjadi: Pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Sementara itu, pasal 18 yang terdiri atas 3 ayat mengatur jenis dan besaran sanksi. Secara garis besar, pasal tersebut menyatakan bahwa pemerintah menaikkan sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar UU. ”Kami menolak upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers,” tegas Ketua Umum AJI Abdul Manan. Niat pemerintah untuk campur tangan, lanjut dia, juga terlihat dalam pasal yang menyebutkan bahwa operasional UU Pers diatur dengan peraturan pemerintah (PP).

Dia menegaskan, UU 40/1999 merupakan payung hukum kebebasan pers di tanah air. Dibentuk dengan semangat tanpa ada campur tangan pemerintah. UU Pers tersebut memiliki semangat untuk mengoreksi rezim Orde Baru yang kala itu mengekang pers.

Peraturan tersebut juga menyerahkan wewenang kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan operasional UU Pers. Bukan pemerintah maupun pihak lain. ”Jika pemerintah diberi kewenangan mengatur sanksi, itu bisa mengulang preseden masa Orde Baru. Meski UU Pers melarang pemberedelan, pemerintah tetap bisa membatalkan SIUPP (surat izin usaha penerbitan pers) dengan dasar hukum peraturan menteri maupun PP,” papar Abdul Manan.

Hal itu berpotensi menciptakan mekanisme ”pintu belakang” atau ”jalan tikus” untuk ikut campur dalam urusan pers. Sebab, pemerintah memiliki kewenangan membuat ketentuan jenis, besaran denda, tata cara, dan mekanisme penanganan sanksi administratif.

AJI juga menolak kenaikan sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar aturan. Semula, pasal 18 ayat 1 menyebut jenis sanksi adalah pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Namun, dalam RUU omnibus law, denda naik menjadi Rp 2 miliar dan ditambah sanksi administratif.

Wartawan senior Tempo tersebut mempertanyakan urgensi kenaikan denda itu. ”Sebenarnya setuju ada sanksi, tapi sanksi itu hendaknya untuk mengoreksi atau mendidik. Kok kami menilai semangatnya bernuansa balas dendam,” ujar Abdul. Padahal, selama ini, kata Abdul, pemerintah tidak konsisten menerapkan perlindungan terhadap kebebasan pers. ”Lalu, untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini? Kami menangkap kesan seperti menjalankan politik lip service atau pencitraan. Agar terkesan melindungi kebebasan pers dengan menaikkan denda,” tegasnya. (han/c10/oni)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X