Virus COVID-19 Bikin Oleng, Satu Semester Diprediksi Bali Kehilangan Rp 11,5 T

- Sabtu, 15 Februari 2020 | 11:42 WIB
Turis China menjadi pengunjung terbesar kedua setelah wisatawan asal Australia.
Turis China menjadi pengunjung terbesar kedua setelah wisatawan asal Australia.

Memasuki awal 2020, industri pariwisata Bali dibikin oleng oleh wabah Corona (COVID-19). Wabah virus yang disebut-sebut reinkarnasi dari virus SARS itu membuat arus kedatangan kunjungan wisatawan Tiongkok ke Bali terhenti.

 

PADAHAL dalam beberapa tahun terakhir, para pelancong dari Negeri Tirai Bambu itu tercatat sebagai wisatawan terbesar kedua setelah Australia dalam hal tingkat kunjungan. Terakhir, pada 2019 lalu, jumlahnya mencapai 1.185.519 dari total 6,3 juta kunjungan wisatawan seluruh dunia ke Bali. 

Di sisi lain, Pemerintah Pusat juga sepertinya tidak ingin ambil risiko dengan wabah virus yang mengakibatkan Pneumonia ini. Kebijakan tegaspun diambil melalui Kementerian Perhubungan. Menutup sementara akses penerbangan dari dan ke Tiongkok terhitung mulai 5 Februari 2020 lalu. 

Sejak itu, praktis arus kedatangan atau kunjungan wisatawan Tiongkok ke Bali nihil. Itupun sampai dengan waktu yang tidak bisa dipastikan. Tapi suka tidak suka, kebijakan itupun harus diikuti. 

Dan yang membuat terpukul, wabah itu melanda di saat perayaan Imlek pada tahun ini. Momen itu semestinya menjadi masa-masanya high season di Bali. Saat turis Tiongkok biasanya datang ke Bali untuk plesiran. Bahkan sesuai data dari Bali Liang, situasi ini memicu terjadinya pembatalan kunjungan sekitar 15 ribu wisatawan. 

Tentu situasi ini membuat pemerintah daerah, lebih-lebih praktisi pariwisata, mesti cari cara untuk meredam dampak Korona bagi indutri wisata di Bali. Berbagai strategi bermunculan. Mulai dari pengalihan pasar ke negara lain. Pengalihan slot penerbangan yang semula ke Tiongkok. Menggarap pasar domestik. Dan berapa cara lainnya agar survive. Bertahan. 

Hingga kini belum ada data pasti mengenai seberapa jauh dampak kerugian akibat Korona bagi Bali. Namun bila mengacu pada data tahunan, potensi Pajak Hotel dan Restoran (PHR) dari Bali dalam satu tahunnya berkisar Rp 10 triliun dengan kisaran jumlah kunjungan wisatawan sebesar 6,3 juta sampai 6,5 juta. Itu artinya, dari sisi pendapatan atau income, nilainya mencapai Rp 100 triliun per tahun. Karena PHR nilainya sepuluh persen dari pendapatan. 

“Lalu bagaimana dengan potensi PHR dari wisatawan Tiongkok? Kalau kisarannya selama ini 23 persen, berarti Rp 23 triliun. Itu kalau dampak Corona ini berlangsung selama satu tahun. Kalau satu semester, berarti separonya. Rp 11,5 triliun kehilangan pendapatan. Kalau tiga bulan, sekitar Rp 5 triliunan,” jelas pengamat pariwisata, Bagus Sudibya, Jumat kemarin (14/2).

Jika dari potensi pendapatan ini 10 persen adalah PHR, itu artinya PHR bisa terpangkas sekitar Rp 1,1 triliun jika Korona berdampak selama enam bulan. “Namun kalau benar bisa dalam waktu 3 bulan, itu artinya sekitar Rp 550 miliar, kehilangan PHR,” sambungnya.

Bahkan menurut dia, estimasi yang dia paparkan itu masih perlu diberikan catatan lagi. Dalam artian, itupun kalau estimasi tersebut didasarkan pada kekosongan wisatawan Tiongkok saja. Belum termasuk wisatawan dari negara lainnya. Khususnya negara-negara tetangga. Macam Singapura, Thailand, maupun Malaysia yang secara nasional memberikan kontribusi besar dalam jumlah kunjungan wisatawan ke Indonesia. 

“Jangan lupa lho, Malaysia kontributor terbesar untuk kunjungan wisatawan secara nasional. Kalau ke Bali (urutannya) di bawah. Tapi persoalan ini (Korona) saya rasa sudah menjadi masalah pariwisata nasional,” tegas mantan Ketua BTB (Bali Tourism Board) ini.

 Menurutnya, secara karakteristik wisata yang disajikan, kekosongan tamu Tiongkok ke Bali ini akan sangat dirasakan pada wilayah Kuta. Sebab, karakteristik wisatawan Tiongkok yang datang ke Bali rata-rata melakukan aktivitas berbelanja atau shoping, liburan ke pantai atau beach holiday, serta kuliner. “Wilayah yang direpresentasikan untuk aktivitas itu adalah Kuta. Selain yang suka night life atau surfing yang dilakukan wisatawan Australia,” jelasnya. 

Karakteristik ini, sambungnya, sudah terbentuk begitu saja. Dilihat dari karakter wisatawannya maupun daya tarik wisata atau DTW yang tersedia pada satu wilayah. Namun, dengan kondisi seperti sekarang, bukan berarti pusat wisata lainnya tidak merasakannya. 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Minggu, 14 April 2024 | 07:12 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Sabtu, 13 April 2024 | 15:55 WIB
X