Catatan Endro S Efendi
SUATU ketika, seorang rekan menghubungi saya lewat telepon. Dia bercerita panjang lebar tentang anaknya yang masih berusia sekolah dasar. Sebagai orangtua, dia merasa sama sekali tidak dihargai.
“Sudah marah-marah sampai berbusa-busa, anaknya ya tetap cuek aja. Sama sekali suara saya ngga didengar. Siapa yang ngga jengkel, coba?” ujarnya dengan nada tinggi.
Saya sebagai pendengar di ujung telepon jadi merasa kena marah juga, he.. he.. he. Apakah Anda juga pernah mengalami yang disampaikan rekan saya di atas?
Persoalan tidak dihargai oleh anak, boleh jadi juga menjadi masalah umum dan banyak dikeluhkan para orangtua. “Pokoknya mendidik anak sekarang susah-susah gampang,” keluh rekan lainnya.
Bagi orangtua yang merasa tidak dihargai oleh anaknya, izinkan saya bertanya dan tolong dijawab dengan jujur. Sudahkah menghargai anak Anda? “Ya sudah dong, masa saya tidak menghargai,” begitu jawaban spontan yang kadang muncul.
Tunggu dulu, sabar…, sabar… tolong dijawab dengan tulus dan dari hati nurani yang paling dalam. Apakah Anda sudah benar-benar yakin kalau Anda yakin bahwa Anda sudah menghargai anak Anda sendiri? Atau jangan-jangan, itu hanya perasaan Anda saja. Sementara si anak, sama sekali merasa tidak dihargai oleh orangtuanya.
Nah, sampai di sini, biasanya pikiran bawah sadar Anda mulai menelisik dan mencari tahu kebenaran yang terjadi. Sebab umumnya, anak berkembang sesuai dengan lingkungannya. Ketika orangtua sama sekali tidak menghargai anaknya, maka jangan harap anak bisa menghargai orangtuanya.
Contoh sikap orangtua yang tidak menghargai anak adalah, memarahi anak di depan orang lain. Yang lebih parah, bahkan memaki-maki anak sendiri, disaksikan oleh orang banyak. Mungkin orangtua merasa, hal itu untuk membuat anaknya jera.
Namun yang dirasakan anak adalah sebaliknya, anak merasa dipermalukan oleh orangtuanya sendiri. Anak merasa di-bully atau dijatuhkan harga dirinya oleh orangtuanya sendiri. Bagaimana mungkin sosok orangtua yang seharusnya sebagai tokoh utama dalam melindungi anak dan harus selalu memberi rasa aman, justru malah menghancurkan harga diri anak.
Lalu, ke mana lagi anak harus mencari rasa aman? Hal lain yang kerap dilakukan orangtua adalah membandingkan anak sendiri dengan teman atau saudaranya sendiri. Niatnya mungkin baik, untuk memotivasi anak.
Namun, lakukan itu ketika hanya berdua dengan anak, dengan tujuan mendidik dan beri tahu alasan saat melakukan perbandingan. Hindari membandingkan anak sendiri di depan orang lain, bahkan di depan orang yang menjadi bahan perbandingan.
“Tuh lihat sepupumu, pintar. Selalu ranking satu. Coba kamu seperti dia,” begitu kira-kira yang diucapkan orangtua. Parahnya, ini diucapkan di depan sepupunya yang menjadi bahan perbandingan.