Merasakan Simulasi Hidup di Planet Mars, Hentikan Misi supaya Tak Kehabisan Oksigen

- Kamis, 13 Februari 2020 | 12:04 WIB

Tahun 2018 dan 2019 Venzha Christ mendapatkan kesempatan langka mengikuti simulasi perjuangan hidup seolah sedang di angkasa luar. Salah satunya di tempat yang didesain serupa permukaan Planet Mars. Kecermatan perhitungan waktu menjadi sangat penting jika mau pulang dengan ”selamat”.

 

TAUFIQURRAHMAN, Jogjakarta, Jawa Pos

 

MESKI memiliki atmosfer dan daya gravitasi yang hampir sama dengan Bumi, hidup di Mars adalah soal waktu dan kecermatan. Sebab, kerapatan oksigen hanya tersedia 30 persen jika dibandingkan dengan Bumi. Kesalahan perhitungan bisa berakibat fatal.

Mars Desert Research Station (MDRS) memang tidak benar-benar berada di Mars. Tempat itu ada di gurun gersang Hanksville, Utah, Amerika Serikat. Stasiun yang dibangun pada 2001 oleh The Mars Society tersebut didesain sedemikian rupa untuk menyamai kondisi di planet merah. The Mars Society merupakan organisasi nonprofit di AS yang berdiri sejak 1998. Anggotanya para relawan berbagai negara. Mereka memiliki misi mengeksplorasi kemungkinan hidup di Mars.

MDRS terdiri atas enam bangunan. Bangunan utama disebut The Habitat atau Hab. Bentuknya tabung dengan kubah berukuran diameter 8 meter dengan dua lantai. Lantai 1 adalah ruang kerja dan kamar tidur, lalu lantai bawah tanah tempat dapur, peralatan, dan terowongan akses ke bangunan lain lewat bawah tanah, meliputi obeservatorium, kebun buatan (GreenHab), solar panel, serta pusat reparasi reparation and maintenance module (RAMM).

Dalam satu kali sesi simulasi, MDRS mampu menampung hingga 7 kru. Venzha Christ adalah satu-satunya orang Indonesia yang tergabung dalam kru nomor 191 yang khusus untuk tim Asia. Rekan lainnya berasal dari Jepang. Mereka mendapatkan giliran untuk melakukan riset saintifik simulasi dengan kondisi di Mars pada Mei 2018. Saat itu kru dibantu dua robot rover penjelajah Mars.

Mereka yang mengikuti simulasi tinggal selama sebulan di Hab. Pada hari ke-24, Venzha keluar dari Hab bersama tiga kru, termasuk Yusuka Murakami, crew commander. Tabung oksigen hanya bisa bertahan dua jam. Sebagaimana protokol, setiap kru yang akan melakukan operasi saintifik di luar Hab harus mengenakan pakaian astronot alias extravehicular (EVA) suit. ”Melepas dan memakai EVA suit itu ada protokolnya. Dan itu juga harus dilakukan satu per satu. Berurutan,” cerita Venzha kepada Jawa Pos di rumahnya, daerah Kelurahan Gedongkiwo, Mantrijeron, Jogjakarta.

Begitu EVA suit terpakai, kru masuk ke ruang airlock yang disimulasikan sebagai transisi dari ruang Hab yang terkompresi ke alam bebas permukaan Mars. Setelah itu, masing-masing mengendarai all terrain vehicle (ATV) sejenis rover menuju lokasi yang ditentukan.

Lokasi yang dipilih Venzha adalah sebuah dataran luas sekitar 5 kilometer dari Hab. Sebab, alat cosmic ray receiver milik Venzha hanya bisa beroperasi di tanah datar yang tak boleh ada tanaman di sekitarnya.

Menurut perhitungan, jarak dan waktu tempuh mencukupi sesuai jumlah oksigen. Namun, saat sudah tiba di lokasi, alat cosmic receiver yang hendak dipasang ternyata terbelit kabel. ”Ada kesalahan teknis. Pokoknya alatnya mblibet. Jadi, butuh waktu untuk perbaikan. Kami akhirnya memutuskan menghentikan misi,” kata ketua komunitas penggiat astronomi v.u.f.o.c dan Indonesia Space Science Society (ISSS) itu.

Keputusan tersebut, kata Venzha, harus diambil secara cepat, tetapi dihitung dengan cermat. Jika memaksakan memperbaiki alat di lokasi, risikonya, oksigen tidak akan bertahan sampai di Hab. Akibatnya, semua kru akan tewas. ”Ya, memang masih di bumi. Tapi kalau di Mars bisa mati beneran,” tutur lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), Jogjakarta, itu.

Simulasi di Mars juga sangat menuntut kecermatan dan kebijaksanaan kru dalam mengambil keputusan saat berhadapan dengan tekanan situasi hidup dan mati. Misalnya, pada hari ke-17, kru menemukan tiba-tiba suplai air yang masuk ke Hab berbau agak aneh. Setelah dicek, air tersebut mengalami kontaminasi. Tidak bisa diminum. Dalam kondisi riil, kontaminasi air tergolong insiden yang sangat berbahaya dan mengancam misi. Tanpa air, jangankan bertahan sebulan sampai tanggal penjemputan, beberapa hari saja tidak mungkin. Cadangan air pasti akan habis.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X