Penetapan PT Perlu Lewat Kajian, Kenaikan Tidak Otomatis Menyederhanakan

- Rabu, 12 Februari 2020 | 09:05 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA – Wacana kenaikan parliamentary threshold (PT) atau ambang batas masuk parlemen menguat jelang pembahasan Revisi Undang-undang Pemilu (RUU Pemilu). Partai besar dan partai kecil mulai tarik menarik kepentingan dalam menentukan angka PT yang digunakan pada Pemilu 2024 nanti.

Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto mengatakan, alasan PT dinaikkan untuk menyederhanakan partai di parlemen tidak sepenuhnya benar. Pasalnya, jika mengacu pengalaman tiga pemilu terakhir, kenaikan PT yang dilakukan tidak mengurangi jumlah partai secara signifikan.

Di samping itu, lanjut dia, asumsi yang menyebut kenaikan PT dapat mempercepat pengambilan keputusan belum terbukti. “Dari PT 2,5 persen hingga naik 4 persen tidak berdampak ke pengambilan keputusan,” ujarnya dalam diskusi di Kantor KIPP, Jakarta, kemarin (11/2).

Arif menilai, lambat atau cepatnya pengambilan keputusan tidak ditentukan oleh jumlah partai. Melainkan budaya kerja yang diterapkan. Sejauh ini, kata dia, aura transaksional dan tarik menarik kepentingan yang kuat berdampak pada lambatnya pengambilan kebijakan.

Oleh karenanya, perlu juga komitmen partai politik untuk mengubah cara kerjanya. Sebab, problemnya bukan di PT, melainkan pada cara kerja partai. “Jangan problemnya di sana, solusinya di sini,” imbuhnya.

Semantara dalam penentuan PT pada pembahasan RUU Pemilu nanti, dia menyarankan agar didasarkan pada kajian yang matang. Terlepas harus dinaikkan atau diturunkan. “Selama ini angka 4, 5 7, angka ini datang dari langit. Tidak ada penjelasan ilmiah,” ungkapnya.

Sementara itu, peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menambahkan, kenaikan PT tidak akan berdampak pada penyederhanaan pengambilan keputusan di parlemen. Hal itu tercermin dari dua kali kenaikan yang dilakukan sejak 2009 lalu.

Sebaliknya, jika kenaikan PT dilakukan, yang dikhawatirkan adalah semakin rendah representasi pemilih di peroleh. Sebagai contoh, dalam pemilu 2019 lalu, ada sejumlah caleg yang memperoleh signifikan tapi gagal lolos ke parlemen akibat partainya gagal memenuhi PT.

“Akan semakin banyak suara masyarakat yang terbuang,” ujarnya. Selain itu, jika parlemen dikuasai oleh beberapa gelintir partai-partai besar saja, maka konteks keberagaman yang dianut Indonesia semakin tereduksi.

Untuk itu, dia menilai tidak perlu PT yang terlampau besar. Sehingga representasi masyarakat akan semakin banyak. Pemilih yang sudah memberikan suaranya ke caleg tertentu juga tidak hilang sia-sia. Terkait penyederhanaan pengambilan keputusan, dia menilai bisa dilakukan debfab skema lain. Misalnya meningkatkan syarat pembentukan fraksi. “Nanti PT diberlakukan saat pendirian fraksi. Syaratnya dinaikkan,” tuturnya.

Sebelumnya, perbedaan sikap terkait angka PT disampaikan partai kecil dan besar. Dalam pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri beberapa waktu lalu, partai-partai kecil menginginkan PT tidak dinaikkan atau bahkan diturunkan. Sikap itu berbeda dengan partai besar yang menghendaki kenaikan. Seperti yang disampaikan PDIP, Golkar, dan PKB. (far)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X