Tata Ulang Kawasan Gunung Manggah

- Sabtu, 8 Februari 2020 | 12:43 WIB

Kecelakaan lalulintas di jalur menanjak Jalan Otto Iskandardinata, atau yang akrab di telinga warga dengan sebutan Gunung Manggah, pada Kamis, 30 Januari lalu, meninggalkan luka bagi keluarga korban. Tragedi di tanjakan atau turunan itu bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya, sudah ada kecelakaan yang menyebabkan kerugian materiil dan inmateriil. Kecelakaan menjadi pelajaran bagi setiap orang yang melintas di kawasan tersebut, bahwa musibah datang pada siapa pun tanpa mengenal waktu, tempat, pelaku dan korbannya.

Jalan merupakan fasilitas yang digunakan oleh publik. Sehingga, harus dirasakan dengan aman dan tentram. Kecelakaan lalu lintas di Gunung Manggah tidak sejalan dengan tujuan pembentukan jalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 38/2004 tentang Jalan, yakni memberikan kertertiban dan kepastian hukum untuk pengguna jalan, baik kendaraan bermotor maupun pejalan kaki. Ruang-ruang harus diberikan secara proporsional kepada pejalan kaki dan kendaraan bermotor, agar masyarakat mendapatkan kepastian secara hukum, perihal ruang untuk pejalan kaki dan lajur untuk kendaraan bermotor. Di Kota Tepian, ruang jalan masih jauh dari kata proporsional.

Badan jalan menjadi kecil secara “permanen” karena menjadi tempat parkir, berjualan menggunakan rombong atau tempat lainnya, serta tidak adanya ruang untuk pejalan kaki. Kondisi faktual dapat dilihat pada jalur menanjak di Gunung Manggah, yang notabene merupakan jalan utama penghubung jalan lain. Sayangnya, tidak memiliki ruang lebih untuk kenyamanan pejalan kaki dan pengguna kendaraan bermotor.

Pemerintah perlu melakukan evaluasi bagi jalan yang kerap kali terjadi kecelakaan, baik kecil atau besar seperti di jalur menanjak Gunung Manggah. Bahkan pada jalan baru namun berpotensi terjadinya kecelakaan, juga dapat dilakukan evaluasi.

Evaluasi jalan bukan berarti akan lepas dari musibah, namun dapat memberikan rasa aman dan nyaman para pengguna jalan. Hal itu berperan sebagai bentuk preventif. Pemerintah memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jalan yang digunakan sebagai fasilitas publik. Berdasarkan Pasal 102 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 34/2006 tentang Jalan, telah ditegaskan bahwa jalan yang aktif beroperasi dilakukan uji kelaikan fungsi secara berkala setiap 10 tahun atau sesuai kebutuhan. Pemkot Samarinda sebagai penyelenggara Jalan melalui instansi terkait harus melakukan uji laik fungsi kepada semua jalan, termasuk yang menjadi kawasan baru di Samarinda. Apakah Jalan tanjakan Gunung Manggah telah dilakukan uji kelaikan fungsi? Pemkot Samarinda yang dapat menjawabnya.

Jalan yang suda lama berada di pinggiran Samarinda itu sudah semestinya memiliki hasi uji kelaikan fungsi. Tanjakan tersebut menjadi jalur yang ramai dilalui pengendara kendaraan bermotor, mulai roda dua hingga roda enam. Jalur tersebut menjadi jalan utama dari dan menuju ke arah sambutan. Bahkan, sejak TOL Balikpapan-Samarinda dibuka, kendaraan yang tidak pernah melewati jalur tersebut melintas setiap harinya. Jalur itu turut digunakan pejalan kaki dari menuju Pasar Sungai Dama dan mini market. Termasuk para pelajar SD 007 dan SMP 9 Samarinda.

Sudah sewajarnya pemerintah dapat segera melakukan uji kelaikan fungsi di jalan tanjakan Otista. Hasil uji kelaikan fungsi yang telah diketahui akan menjadi referensi pemerintah dalam melakukan penataan kembali jalur tersebut. Termasuk memberikan rasa aman kepada masyarakat yang akan melintasi Gunung Manggah setiap harinya. Penataan jalan yang dapat dilakukan Pemkot Samarinda ada beberapa bagian.

Pertama, kepadatan kendaraan dan penduduk yang menggunakan ruang jalan tersebut dapat menjadi referensi mengapa harus dilakukan uji kelaikan fungsi.

Kedua, pemerintah dapat melakukan pembenahan pada sisi kanan-kiri jalan dengan melihat kepentingan yang terbaik untuk pengguna jalan. Pada Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 34/2006 tentang Jalan disebutkan, ruang manfaat jalan yang bisa dijalankan pemerintah meliputi tersedianya badan jalan, saluran tepi jalan dan ambang pengamanannya. Dalam Pasal 131 Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan, pejalan kaki berhak atas ketersediaan fasilitas untuk pejalan kaki. Sayang, kawasan tersebut justru tak menyediakan fasilitas yang sejatinya dirasakan publik. Untuk diketahui, siang dan sore, puluhan pelajar menggunakan jalur tersebut. Dengan kecelakaan yang terus berulang, keberadaan hak pejalan kaki tentu menjadi bagian penting.

Ketiga, pemerintah dapat melakukan penataan Jalan Otista dengan memasukan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW). Pasalnya, dalam Perda Nomor 2/2014 tentang RTRW Samarinda 2014-2034, tidak terdapat nomenlaktur penambahan jalan baru atau perluasan di jalan seputaran tanjakan Gunung Manggah.

Keempat, Pemkot Samarinda dapat membuat Perda tentang Penyelenggaraan Jalan Daerah yang dapat mengatur secara rinci ketentuan jalan-jalan yang ada di Samarinda. Keberadaan Perda juga memberikan payung hukum kepada masyarakat Samarinda dalam menjaga ketertiban dan kepastian hukum para pengguna jalan berdasarkan kearifan lokal. (dra)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X