SANGATTA - Dinas Kesehatan Kabupaten (Dinkes) Kutim menemukan empat kasus Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB) sejak 2017 hingga 2019 lalu. Hal itu dijelaskan oleh Kadinkes Bahrani Hasanal.
Penyakit ini tidak seperti TBC lainnya, namun bisa dua kali lebih berbahaya. Karena dianggap sangat resisten terhadap manfaat dua obat antituberkulosis yang paling kuat, yaitu isoniazid dan rifampisin. Pada 2015 lalu, data dari Depkes RI menunjukkan ada sekira 15 ribu penderita TB yang dicurigai resisten dengan pengobatan dan sekitar 1800 di antaranya terkonfirmasi menderita TB MDR.
Menurutnya, apabila MDR pada seseorang sudah menjalar serta salah dalam penangannya, maka proses penyembuhan akan lebih sulit untuk dipulihkan. Karena obat yang dikonsumsi sudah tidak berfungsi. Pengobatan MDR yang awalnya hanya enam bulan menjadi dua tahun kemudian ditambah dua bulan suntik secara rutin. Suntikan inilah yang bisa menggerogoti tubuh penderitanya. Namun tidak ada pilihan lain selain suntik sebab obat sebelumnya sudah tidak berfungsi.
"Penyakit ini sangat membahayakan, kasus tertingginya ada di Kecamatan Sangatta Utara tepatnya di Teluk Lingga," katanya saat diwawancarai belum lama ini.
Kata dia, dari empat kasus tersebut baru tiga diantaranya yang sudah ditangani, sementara masih ada satu kasus yang saat ini menjadi fokus utama pihaknya. Bahrani menuturkan kasus seperti ini tidak dapat diselesaikan dengan pengobatan biasa.
"Pengobatan harus melalui ahlinya, seperti dokter spesialis paru. Sementara di Kutim sendiri sudah ada tapi hanya satu dokter spesialis di RSUD Kudungga, itu juga tidak bisa maksimal kalau harus menjangkau 18 Kecamatan," jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengakui jika pihaknya kembali menemukan kasus MDR TB, maka Dinkes harus menyiapkan anggaran yang cukup besar. Namun hal itu harus tetap dilakukan untuk menekan peredaran yang rentan terjadi.
"MDR itu sekali ketemu banyak memakan biaya, karena normalnya pengobatan ini harus bertambah menjadi dua tahun," kata dia.
Untuk itu, melalui kunjungan dari WHO dan Global Fund selaku penyandang dana dari penyakit TB Kemenkes, Dinkes Kutim meminta saran terkait minimnya SDM utamanya letak geografis Kutim yang luasnya hampir sama dengan Jawa Barat. (*/la)