Menolak Sistem Upah Per Jam

- Jumat, 7 Februari 2020 | 13:33 WIB
Yaser
Yaser

Rencana sistem upah per jam masih menjadi polemik. Kalangan buruh menolak mentah-mentah, sementara pengusaha kecil dan menengah merasa keberatan.

 

BALIKPAPAN – Ide perubahan sistem pengupahan muncul dalam salah satu poin rancangan undang-undang (RUU) omnibus law cipta lapangan kerja. Upaya ini diyakini bisa menjadi alternatif baru dalam sistem upah di Tanah Air. Namun, tidak semua pekerjaan bisa diterapkan sistem seperti ini.

Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Balikpapan Yaser Arafat mengatakan, sistem ini harusnya berlaku pada pekerja tertentu saja. Kalau di Kaltim, pekerja tambang dan migas yang biasanya menerapkan. Mereka upahnya per jam. Namun, kebanyakan bukan karyawan tetap.

Menurutnya sistem upah per jam perlu dilakukan kajian lagi. Belum bisa di Indonesia. Mengingat tingkat ekonomi di Indonesia tidak seperti negara maju. “Negara kita masih berkembang. Kami dari pengusaha juga kalau disuruh melakukan pengeluaran per hari justru berat. Kalau kita industri besar ya tak masalah,” terangnya (5/2).

Yaser mengungkapkan, di luar negeri banyak negara menerapkan sistem upah bulanan dan juga per jam. Pasalnya, tingkat ekonomi negara tersebut tergolong tinggi. Sementara Indonesia, masih banyak penduduk miskin. Kalau di sana, masyarakat miskin diberikan uang tiap bulan dari pemerintah.

 “Kalau pun jadi dalam rancangan aturan pemerintah, kami berharap agar tarif upah per jam untuk pekerja tertentu dan sektor tertentu bisa ditetapkan antara buruh dan pengusaha. Pemerintah tak perlu lagi mengatur soal tarifnya. Besarannya bergantung kesepakatan buruh dan pengusaha. Tapi tetap upah minimum diperhatikan, UKM tentu harus juga bisa bayar,” bebernya.

Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSBI) Kaltim Bambang Setiono mengatakan, serikat pekerja dan buruh pusat menolak hadirnya omnibus law cipta lapangan kerja. Terkait upah per jam yang diberlakukan, ia menyebut akan berdampak pula pada jaminan sosial yang didapat pekerja. Di antaranya BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Penghitungan jaminan sosial ini lagi-lagi didasarkan pada upah minimum per bulan yang didapat oleh pekerja. Jika upah pokok saja tidak jelas, maka penghitungan untuk jaminan sosial pun akan menjadi kabur.

"Berikutnya yang kita tolak adalah perluasan income tenaga asing. Sebelum omnibus law ini saja, sudah ada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 229 Tahun 2019 yang membuka ruang untuk lebih dari 100 sektor. Kalau ada omnibus law, itu semua pekerjaan bisa dimasuki tenaga asing," lanjutnya.

Ia menyayangkan aturan ini yang dinilai tidak ramah pada anak bangsa. Bambang menyebut aturan ini hanya akan merugikan rakyat Indonesia dan membuat mereka tidak memiliki masa depan. Terakhir, poin yang ditolak oleh serikat buruh adalah penghilangan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar aturan. Aturan yang dimaksud di antaranya memberikan kesejahteraan bagi pekerja seperti jaminan sosial dan kesehatan.

Bambang mendorong pemerintah untuk duduk bersama dan membahas perihal isi omnibus law ini. Menurutnya, omnibus law cipta lapangan kerja peruntukannya bagi pekerja dan menyejahterakan, bukan membuat permasalahan baru. (aji/ndu/k15) 

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X