SAMARINDA – Manajemen perhotelan diminta untuk tidak semena-mena menurunkan harga kamar. Supaya tidak terjadi perang tarif dan okupansi hotel terbagi rata. Saat ini okupansi masih didominasi oleh hotel bintang empat dan lima. Sulitnya bersaing harga disebut menjadi penyebab hotel nonbintang semakin terhimpit.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kaltim Muhammad Zulkifli mengatakan, sebenarnya jika sesuai klasifikasinya di Samarinda dan Balikpapan tidak ada hotel bintang satu dan dua. Sebab rata-rata di Samarinda dan Balikpapan memiliki hotel bintang tiga ke atas. PHRI Kaltim mencatat di Bumi Etam terdapat 492 hotel pada 2019. Dari jumlah itu 420 merupakan hotel nonbintang.
Bintang satu itu, tambah Zulkifli sama dengan nonbintang. Sehingga data yang didapatkan Badan Pusat Statistik (BPS) itu nonbintang masuk ke data hotel bintang satu. “Wajar jika okupansi hotel tiga ke atas lebih baik dibandingkan bintang satu dan dua,” katanya (6/2).
Dia menjelaskan, sejak dulu okupansi nonbintang memang sangat rendah. Harga nonbintang dan hotel bintang sangat berbeda tipis. Saat ini orang menginap tidak hanya butuh tidur, tapi butuh fasilitas penunjang lain. Seperti restoran, tempat olahraga, kolam renang dan lainnya. Wajar jika rata-rata okupansi di Kaltim untuk nonbintang masih rendah. “Kita saja otomatis lebih memilih hotel bintang, jika perbedaan biayanya hanya 100-200 ribu,” tuturnya.
Terpisah, Ketua Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) Samarinda Wied Paramartha mengatakan, lebih dari 2.200 kamar yang tersedia di Samarinda, rata-rata okupansi hotel pada 2019 mencapai 60 persen untuk hotel bintang. Di Samarinda diakuinya harga masih normal, berebut pasar dipastikan tidak terjadi.
“Kita setiap hari update, masing-masing tahu harga bintang empat yah harus sesuai. Jika bintang empat turunkan harga otomatis hotel bintang tiga marah, karena itu pasarnya dia dengan harga yang diturunkan tadi,” jelasnya.
Jika tidak dipantau dan ditegur untuk memperbaiki harga, maka bintang empat memberikan harga bintang tiga, lalu bintang tiga memberikan harga bintang dua, dan seterusnya. Itu yang namanya perang harga.
Menurutnya, harga kamar hotel di Samarinda dan Balikpapan saat ini sangat berbeda. Di Balikpapan banyak hotel dengan fasilitas bintang empat harga bintang tiga. Kebanyakan tidak sesuai dengan harga seharusnya. Kota Tepian, masih memiliki harga masing-masing sesuai pasarnya. Di IHGMA selalu berusaha tidak merebut pasar orang lain.
“Kita bintang empat harus punya harga sesuai, jangan mengambil harga lain. Sebab jika kita menurunkan harga, yang di bawah akan menurunkan harga juga. Ini yang membuat harga kamar hotel jatuh,” tuturnya.
Dia menjelaskan, Samarinda masih memiliki kode etik bisnis yang jelas, tidak berebut pasar. Sehingga meskipun ada hotel-hotel baru, tidak akan merasa tersaingi atau perang harga. Sedangkan Balikpapan banyak harga yang rusak akibat terlalu murah. Ini yang membuat hotel-hotel nonbintang kehilangan pasarnya, sebab hotel bintang menjual harga yang murah dengan fasilitas penunjang, berbeda dengan nonbintang. “Tidak boleh berebut pasar, memasang harga harus sesuai dengan fasilitas agar tidak perang tarif,” pungkasnya. (ctr/ndu/k18)