Kota Tepian jadi salah satu yang rentan terhadap HIV/AIDS di Kaltim. Masyarakat yang dinamis, keluar-masuk pendatang, dan upaya identifikasi HIV/AIDS yang lebih tinggi, membuat Samarinda jadi kota yang banyak ditemukan kasus HIV/AIDS.
HAL tersebut diungkapkan Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kaltim Jurnanto. Dia juga menyebut pada dasarnya penularan HIV tak semudah penularan virus lain. Misal influenza atau tuberkulosis. Penularan virus ini paling banyak adalah melalui hubungan seksual berisiko. Kerap berganti pasangan dan menjalani hubungan seksual tanpa kondom membuat virus berisiko menular. Sebab, virus itu menular melalui cairan kelamin.
"Kemudian, ada juga yang melalui jarum suntik. Biasanya pengguna narkoba jarum suntik," ucap Jurnanto. Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie (RSUD AWS) pun jadi rumah sakit yang kerap mengidentifikasi kasus baru pengidap HIV melalui layanan voluntary clinic test (VCT) alias pemeriksaan sukarela.
Disebut Jurnanto, pengetahuan masyarakat soal HIV/AIDS lebih baik dibandingkan dahulu. Namun, tetap masih banyak masyarakat yang belum paham benar. Termasuk mereka yang baru saja diidentifikasi mengidap HIV. "Biasanya langsung tidak semangat. Ada juga yang putus asa dengan obat yang diberikan. Tidak mau minum lagi. Padahal, kalau sekali putus, dosisnya mesti ditingkatkan lagi," imbuhnya.
Obat yang diberikan bagi pengidap HIV adalah anti-retroviral (ARV). Untuk diketahui, ARV pun gratis diberikan pemerintah.
ARV akan membantu menekan angka virus. Bahkan, mereka yang mengonsumsi ARV, bisa tak menularkan HIV. Sebab, jumlah virus sudah sangat sedikit. Namun kendalanya, banyak yang merasa putus asa dan akhirnya berhenti minum ARV. Memang, ARV juga punya efek seperti obat-obat kimia pada umumnya.
Disebut Jurnanto, saat ini, remaja juga tak lepas dari risiko mengidap HIV/AIDS karena pola seksual yang berisiko. Maka dari itu, pendidikan seksual dan pengenalan soal HIV/AIDS di sekolah juga penting. Sehingga target pada 2030 tak ada kasus baru, bisa tercapai. "Di sini, alasan kami perlu juga bersinergi dengan Dinas Pendidikan," sambungnya.
Kementerian Agama (Kemenag) pun diharapkan juga bisa turut campur. Seperti membuat prasyarat pengecekan HIV/AIDS sebelum menikah. Jadi, jika memang positif HIV, tak harus gagal nikah. Tetapi, bisa melakukan antisipasi dan penilaian risiko.
Sementara itu, Ketua Pokja Monev KPA Marsono menambahkan, saat ini ibu hamil yang periksa di puskesmas pun akan langsung dites HIV. Apalagi, tes HIV sekarang tak repot. Hanya butuh sedikit darah seperti cek kadar gula darah.
"Sifatnya mandatory. Ibu hamil yang positif HIV kan berisiko menularkan kepada anaknya. Nah, kalau diketahui sejak awal, mereka akan diberikan ARV dan risiko menularkan ke janin akan diminimalisasi," tutupnya. (nyc/dns/k8)