Tahun baru Imlek kali ini cukup berbeda. Dua awak media ini ditugaskan melaporkan langsung dari Hong Kong, negara yang belum lama ini terjadi demonstrasi besar-besaran, menuntut lepas dari pemerintahan Tiongkok.
SEPEKAN berada di Hong Kong, rasanya belum maksimal beradaptasi dengan cuacanya. Negara Mutiara dari Timur itu memasuki musim dingin, hingga 11 derajat Celcius.
Langkah kaki ini baru menapaki tangga pintu keluar B2 mass transit railway (MTR) di kawasan Sham Shui Po, suara pekikan terdengar jelas. “Ayo ce (panggilan kakak dalam keseharian di Hong Kong). Dipilih ce. Silakan,” ucap banyak pedagang yang menjajakan jualannya. Sham Shui Po berada di kawasan Kowloon.
Jangan heran jika Anda bertandang ke Hong Kong, banyak melihat perempuan dari tanah Jawa. Bekerja bertaruh nyawa dan terpaksa bertahun-tahun tak berjumpa keluarga di Indonesia. Berdagang adalah sampingan.
Nah, di kawasan Sham Shui Po itu pula perempuan-perempuan Indonesia berjualan. Mulai makanan, pakaian, pernak-pernik, dan masih banyak lagi. Kami pikir, Hong Kong “rasa” Jawa. Kawasan itu memang pusat perbelanjaan dengan harga yang cukup terjangkau.
Tak ubahnya pasar dadakan. Aktivitasnya setiap akhir pekan atau tanggal merah. “Kalau di sini, orang Indonesia enggak bisa dagang sembarangan. Ketahuan sama imigrasi bisa bermasalah. Kalau di Indonesia seperti pedagang liar sama Satpol PP,” ucap seorang pedagang.
Namun, bagi awak media seperti kami tak disarankan belanja. “Jangan, Mas. Sayang lho. Kalau mau yang berkesan sekalian, tapi memang agak rogoh kocek,” tuturnya. Memang, tak banyak buah tangan dibawa, lantaran bekal kami hanya satu tas ransel. Dan kami sepakat, pulang tak bawa beban lebih berat.
Perjalanan liputan kami di Hong Kong telah selesai. Selama enam hari terasa cukup lama. Dari tujuan awal melihat perayaan Imlek setelah demonstrasi tahun lalu, hingga batalnya berbagai event serta larangan berkunjung ke berbagai lokasi memberikan cerita tersendiri.
Kurang beruntung memang ketika awak media datang ke sana. Berbagai acara dan event yang sudah dipersiapkan mesti dibatalkan. Terlebih maraknya wabah corona, bahkan membuat Wuhan lumpuh seketika. Di satu sisi awak media bersyukur, karena sudah kembali ke Tanah Air.
Dering telepon tak terjawab tampak di layar handphone. Berbagai chat dari sanak-saudara yang tahu keberadaan kami tanggal 23-28 Januari pun masuk. Semua sama. Berpesan agar waspada. Mengenakan masker. Dan bahkan meminta kami melakukan checkup kesehatan. Termasuk dari Pemimpin Redaksi Kaltim Post Faroq Zamzami. “Tiba di Balikpapan langsung cek kesehatan ya,” pesannya.
Bisa dibilang selama di sana, kami merasa kewalahan hanya untuk mendapatkan masker dan pembersih tangan. Semua toko farmasi dan market sudah kehabisan stok. Beruntung pemilik penginapan tempat kami tinggal menyediakan dan memberikan secara cuma-cuma.
Semula masa liburan Imlek hanya berlangsung empat hari pada 23-28 Januari. Tapi pemerintahan Hong Kong memperpanjang jumlah hari libur hingga 2 Februari. Keputusan itu diambil setelah kondisi Tiongkok terlebih Wuhan yang kian parah.
Di Hong Kong saja, beberapa lokasi, selain Tung Chung, juga lokasi wisata seperti Ocean Park, Disneyland hingga The Big Buddha ditutup. Warga maupun pengunjung diminta tidak melakukan banyak aktivitas di luar rumah. Penggunaan masker juga diwajibkan. Walau ada beberapa warga atau wisatawan asing terlihat masih enggan menggunakan masker.