DPR Janji Transparan Bahas Omnibus Law

- Senin, 27 Januari 2020 | 12:37 WIB

JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law yang digagas pemerintah terus menuai polemik. RUU Cipta Lapangan Kerja, misalnya. Rancangan regulasi itu langsung mendapat penolakan keras kalangan buruh karena dinilai terlalu mengistimewakan pengusaha dan mengesampingkan hak pekerja.

Badan Legislasi (Baleg) DPR berjanji untuk melakukan pembahasan secara transparan. Yaitu dengan melibatkan seluruh stakeholder yang relevan dan berhubungan langsung dengan isu-isu tersebt. ’’Tentu saja dari kelompok buruh juga,” kata Anggota Baleg Firman Subagyo dalam diskusi bertajuk Omnibus Law Bikin Galau di kawasan Jalan KH Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, kemarin (26/1).

Menurutnya, tidak boleh ada diskriminasi dalam pembahasan suatu regulasi. Semua pihak harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pandangannya. Terkait omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja, DPR tidak hanya akan melibatkan serikat pekerja, akademisi, pemerhati ekonomi dan pengusaha juga perlu dimintai pendapat. ’’UU kan berlaku untuk semua. Bukan hanya satu kelompok saja,” ujar Firman.   

DPR dan pemerintah belum membahas omnibus law. Sebab sampai sekarang, sambung dia, pihaknya mendapat draf maupun naskah akademik RUU Cipta Lapangan Kerja. ’’Kalau draf sudah ada segera kami ajak untuk diskusi,” papar politikus Golkar itu.

Di tempat yang sama, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengkritisi proses penyusunan RUU Cipta Lapangan Kerja yang dinilai tertutup. Tidak ada pelibatan kalangan buruh. Padahal RUU itu bersinggungan langsung dengan isu ketenagakerjaan. Dia bilang, demi alasan investasi pemerintah terlalu mementingkan kalangan pengusaha.

’’Seharusnya setiap proses pembuatan regulasi terbuka melibatkan semua kepentingan,” kata Said Iqbal.

Dalam diskusi kemarin, Said Iqbal kembali membeberkan enam alasan yang membuat pihaknya menolak RUU Cipta Lapangan Kerja. Di antaranya, RUU Cipta Lapangan Kerja dinilai bisa menghilangkan upah minimum bagi pekerja. Upah minum terancam hilang karena diganti dengan sistem upah per jam. Padahal berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak boleh ada pekerja yang memperoleh upah di UMK.

Alasan lainnya, RUU Cipta Lapangan Kerja bisa mengurangi pesangon. Dalam omnimbus law, pemerintah berencana mengubah istilah pesangon menjadi tunjangan PHK yang besarnya hanya mencapai 6 bulan upah. Padahal mengacu UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, besarnya pesangon PHK adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan dua untuk jenis PHK tertentu sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah.

         Selain itu, omnibus law juga dinilai bisa membanjirnya tenaga kerja asing (TKA) ke dalam negeri. Termasuk unskill worker alias buruh kasar bagi TKA. Buruh juga menolak omnibus law karena dinilai memperluas karyawan kontrak dan outsourcing. Akibatnya, buruh tidak memiliki kepastian pekerjaan dan masa depan yang jelas.

Alasan lainnya, jaminan sosial buruh terancam hilang. Seperti jaminan pensiun maupun jaminan kesehatan. Menurut Iqbal, sistem kerja yang fleksibel bisa menghapuskan jaminan sosial bagi buruh. Karena sistem upah per jam, daya beli buruh pun menjadi turun. Alasan terakhir yang memicu gelombang protes buruh, sebut Iqbal, karena sanksi pidana dalam omnibus law dihilangkan.

Pelanggaran apapun yang dilakukan pengusaha tidak bisa menimbulkan efek jera karena tidak ada mekanisme sanksi. ’’Tidak ada kontrol terhadap pelanggaran yang dilakukan pengusaha. Yang dirugikan buruh lagi,” tegasnya.  

Prinsipnya, tambah dia, buruh mendukung keinginan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi. Namun dia meminta pemerintah duduk bersama agar regulasi yang memayungi rencana tersebut tidak mengesampingkan perlindungan terhadap tenaga kerja.

’’Kami setuju dengan apa yang diinginkan Pak Jokowi. Pertumbuhan ekonomi naik, investasi naik dan tercipta lapangan kerja baru. Tetapi kami tidak setuju bila perlindungan buruh menjadi terabaikan,” tegasnya Iqbal dalam diskusi itu.

Terpisah, Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi mengaku heran dengan framing yang berkembang tentang omnibus law. Bahwa DPR dinilai tertutup dalam pembahasan regulasi itu. Ditegaskan, DPR hingga sekarang sama sekali belum membahas regulasi itu. Sebab pihaknya masih menunggu draf RUU dari pemerintah. ’’Kami ini dituding tertutup. Bagaimana mungkin kami tertutup, terima draf RUU saja saja belum,” tegas Achmad Baidowi. (mar)  

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X