Sangasanga memang dikenal sebagai Kota Juang. Kalau dulu masyarakat setempat berjuang melawan penjajah, sekarang mereka berjuang melawan tambang batu bara yang merusak lingkungan.
BERBAGAI isu kerusakan lingkungan di Kecamatan Sangasanga, saban tahun menjadi perhatian publik. Lagi-lagi karena aktivitas para penambang. Peringatan Sangasanga Merah Putih pada 27 Januari ini, mestinya tak hanya menjadi rutinitas seremonial tahunan.
Melainkan sebagai refleksi menyejahterakan warga terlepas dari belenggu aktivitas tambang. Zainuri, warga RT 24, Kelurahan Sangasanga Dalam, Kecamatan Sangasanga, kembali memutar memori ingatannya.
Sebuah banjir lumpur tiba-tiba menenggelamkan kampungnya. Tak hanya rumah orangtuanya, tapi juga mata air yang menjadi sumber kehidupan warga setempat. Lumpur setinggi lutut, tak kuasa membuat dia dan orangtuanya semakin panik.
Peristiwa itu terjadi medio 2000-an. Kala operasi pertambangan merajalela dengan iming-iming akan menyejahterakan warga. Seiring dengan terbukanya lapangan pekerjaan di sektor tambang, kolaborasi kerusakan lingkungan pun mulai datang.
Minimnya sumber air pasca di tambang, disiasati dengan bantuan air bersih berkedok kepedulian. Padahal, dulu sumber mata air di kampung kami ini sudah ada. Tapi akhirnya ditambang. “Masyarakat dulu senang saja, karena merasa akan terbukanya lapangan pekerjaan dan bantuan dari para penambang,” ujar Zainuri.
Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, setidaknya terdapat 34 IUP berada di Sangasanga. Sebagian berada di atas Wilayah Kerja Pertambangan (WKP) Pertamina. Warga dibuat tak kuasa, lantaran kewenangan peruntukan lahan tersebut dibayangi kewenangan pihak Pertamina.
Pihak perusahaan pun mengantongi perjanjian pemanfaatan lahan bersama (PPLB). “Bahkan, kami tidak tahu, sampai mana batasnya WKP milik Pertamina tersebut. Yang pasti, lebih dari setengah Kecamatan Sangasanga ini tanahnya dikuasai oleh Pertamina. Kita di sini seperti menumpang,” tambahnya.
Persoalan ketidakjelasan status lahan tersebut, belakangan terakhir berbuntut masalah. Terlebih lagi, pasca penetapan pemindahan ibu kota negara (IKN) di Kaltim, lahan-lahan tambang yang biasa ditinggalkan begitu saja, kini menjadi incaran para penambang. Hal tersebut sebelumnya juga diamini Wakil Ketua DPRD Kaltim Muhammad Samsun.
“Dulu, perusahaan hanya membiarkan lahannya terbengkalai. Begitu juga di Sangasanga yang sudah banyak lubangnya ini. Saat ini mulai dilirik-lirik untuk dikuasai. Karena orang berlomba-lomba ingin mendapatkan lahan di dekat IKN baru,” ujar Samsun.
Pada 2019, pihak kecamatan Sangasanga nyaris menerbitkan surat keterangan penguasaan tanah (SKPT) yang ditengarai cacat prosedur. Sejumlah RT, diminta menandatangani persetujuan penerbitan SKPT yang masuk konsesi milik Pertamina.
Sementara itu, Zainuri selaku ketua RT 24 menolak mentah-mentah. “Kami heran karena surat tersebut lebih dulu ditandatangani oleh camat. Sedangkan sepengetahuan kami, lahan tersebut masuk WKP Pertamina,” ujarnya.