Pemerintah belum menemukan solusi efektif untuk mengendalikan banjir di Kota Tepian. Wacana penggunaan hak interpelasi oleh DPRD Samarinda, dianggap hanya alat tawar-menawar.
SAMARINDA - Pengamat hukum dan politik dari Universitas Mulawarman (Unmul), Herdiansyah Hamzah mengatakan, wacana interpelasi yang digulirkan kalangan DPRD itu sebagai alat tawar-menawar. Terlebih wacana penggunaan hal bertanya itu bukan hanya sekali.
“Saya malah sedikit trauma, berkali-kali interpelasi ini diupayakan tapi tidak jadi-jadi. Kesannya malah seperti tawar-menawar," kata dosen yang akrab disapa Castro itu.
Menurut dia, interpelasi adalah hal lumrah. Hal itu dapat diartikan pengawasan terhadap pemerintah dari DPRD berjalan. Banjir di Samarinda bukan baru tahun ini, tapi sudah menjadi langganan setiap tahun.
Jadi, seharusnya interpelasi dilakukan jauh hari sebelumnya. Namun, nyatanya, keinginan interpelasi oleh DPRD seperti tiba masa tiba akal. Namun, Castro tetap mengapresiasi wacana interpelasi tersebut.
Ia menyarankan Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang menyambut baik keinginan legislatif itu. “Nggak perlu panik, biasa saja. Tinggal datang saja beri keterangan. Kecuali keterangan Pak Jaang tidak memuaskan, bisa dilanjutkan ke hak angket," bebernya.
Dosen Fakultas Hukum Unmul tersebut juga menyinggung permasalahan bangunan di sempadan sungai. Pasalnya, kata Castro, bangunan yang ditertibkan hanya milik masyarakat kecil. Sementara pusat perbelanjaan dan bangunan lainnya tak ditertibkan.
Soal reklamasi lahan pertambangan juga wajib menjadi perhatian pemerintah daerah. Menurut Castro, Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) juga cacat. Pasalnya, RTRW dibuat tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).
Padahal telah tercantum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Dalam UU 32 Tahun 2009 sudah menerangkan harus ada KLHS yang dijadikan patokan dalam Perda RTRW,” terangnya.
Selain itu, isi Perda RTRW dianggap rancu. Pada Pasal 47 (5) menyebutkan daerah Samarinda Utara merupakan kawasan tangkapan air. Namun, faktanya telah ditambang. “Pasal yang lain juga mempersilakan pertambangan dapat masuk, sehingga tidak konsisten. Perda tersebut hanya formalitas,” tegasnya.
Sementara itu, Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, RTRW merupakan dokumen semata tanpa implementasi di lapangan. Ruang terbuka hijau (RTH) hanya 0,9 persen. Jauh dari kewajiban pemerintah daerah sebesar 30 persen dari luas wilayahnya.
“Wilayah penyangga di hulu sungai juga rusak akibat aktivitas pertambangan. Aktivitas pertambangan itu yang menyuplai sedimentasi ke Sungai Karang Mumus,” pungkasnya. (*/dad/kri/k16)