HONG KONG memang terkenal perkembangannya yang lebih pesat ketimbang Indonesia. Menginap di sebuah guest house, harian ini mendapat informasi dari Lam Wai Man. Istri dari Wong Sai Tak, pemilik penginapan.
"Dulu di sini tertinggal, tapi sekarang terbalik," ujar perempuan lanjut usia yang fasih berbahasa Indonesia itu.
Dia ingat betul, lahir dan tumbuh besar hingga ABG di Indonesia. Sayang, belum genap 18 tahun, dia harus kembali ke Tiongkok. Saat itu era Presiden Soeharto. Banyak sekolah berlatar belakang Tionghoa dipaksa tutup. "Kami belajar di sini (Hong Kong)," sambungnya.
Tiongkok tak ingin kalah maju dengan negara lain kala itu. "Orang di sini pekerja keras. Terbukti dari hasilnya sekarang," ungkapnya.
Lam bercerita, demonstrasi besar-besaran beberapa bulan lalu memang memiliki dampak bagi Hong Kong. Di negara mutiara dari timur, generasi milenial susah memiliki rumah. Terlebih, nyaris tak ada tanah untuk dibangun. Sejauh mata memandang, hanya gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kukuh.
"Mahal, hidup di sini tak seperti yang dibayangkan," ujar Lam. Uang sekitar Rp 5 miliar, hanya dapat untuk satu bangunan yang sangat sederhana. Namun, Lam bukannya lupa tanah kelahirannya, Jakarta. "Dulu di sana (Jakarta) enak, sekarang tidak," ucapnya.
Hanya, yang paling dirindukan adalah makanan. Terlebih khas Padang. "Top itu," sambungnya sembari mengacungkan jempol tangan kanannya. Dia tak menyangka pada momen Imlek tahun ini mendapat tamu dari Indonesia. "Kami senang. Semoga nyaman selama di sini," ucapnya.
Harian ini berkunjung ke Victoria Park, area Causeway Bay. Langkah kaki baru mendekati taman tersebut, pemandangan wajah-wajah perempuan khas Indonesia tampak di sepanjang kawasan itu. Ngemper. Menggunakan karpet seadanya.
Victoria Park bak taman di daerah Jawa. Mayoritas orang Indonesia, berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Ada pula yang Ngapak. Mereka menjajakan minuman dan makanan ringan. Termasuk jamu.
Di sebuah kawasan, mirip Lapangan Merdeka di Balikpapan, orang-orang Indonesia yang bekerja di Hong Kong berkumpul. Memasang tenda, karpet, dan sekadar payungan. Maklum, pada hari libur Imlek, pekerja yang mengabdikan bertahun-tahun di Hong Kong diberi jatah libur empat hari.
Harian ini berbincang dengan Adinda. Perempuan asli Malang yang sudah 10 tahun tinggal di Hong Kong. "Kalau libur ya kami berkumpul di sini (Victoria Park)," ungkapnya. Membeli makanan yang dijual sesama pekerja. "Itu saja obatnya kalau rindu," ungkapnya.
Melepas penat, berbagi pengalaman pun terlontar begitu saja. "Tapi tetap utamakan telepon keluarga di Indonesia. Video call," ucap perempuan yang sembari menjual kopi keliling itu. Meski pendapatan di Hong Kong memang lebih besar, kebahagiaan kumpul bersama keluarga tetap yang paling dinanti para pekerja.
Adinda pun bercerita, Hong Kong sekarang dengan yang pertama kali dia datangi jauh berbeda. Terlebih tahun ini ada virus corona yang mengancam nyawa. Dia biasanya bisa melihat pemandangan Imlek yang luar biasa. "Sekarang tidak. Sepi," ungkapnya. Pada hari libur kemarin, tak banyak pertokoan yang buka. (dra/lil/dwi/k15)