Draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja Masih Bermasalah

- Minggu, 26 Januari 2020 | 11:41 WIB
ILUSTRASI aksi buruh saat May Day. Kelompok buruh menolak rencana pengupahan per jam dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Sabik Aji Taufan/JawaPos.com)
ILUSTRASI aksi buruh saat May Day. Kelompok buruh menolak rencana pengupahan per jam dalam Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. (Sabik Aji Taufan/JawaPos.com)

JAKARTA– Selama ini, dalam survei Ease Doing Business (EODB) Indonesia, permasalahan regulasi dan birokrasi selalu menjadi masalah utama yang menghambat iklim bisnis di Indonesia. Khususnya, dalam hal pelaksanaan kontrak (Enforcing Contracts) dan memulai bisnis (Starting Business). Pemerintah pun menyusun payung hukum yang dapat meningkatkan iklim investasi dan daya saing nasional berupa Omnibus Law. Berdasarkan draft yang beredar, Omnibus Law yang disusun pemerintah ini terdiri dari 11 klaster, salah satunya adalah ketenagakerjaan. Klaster inilah yang saat ini memancing pro dan kontra di masyarakat terutama kalangan pekerja.

Menurut Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad, ada beberapa permasalahan dalam draft Omnibus Law yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pertama, kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi daerah. Klausul ini tidak cukup mengingat beberapa daerah kadang dalam periode tertentu, pertumbuhannya negatif sementara inflasi tetap terjadi. “Artinya, tidak mungkin upah minimum menjadi negatif pertumbuhannya atau lebih rendah, sehingga ke depan paling tidak tetap memperhatikan inflasi yang terjadi,”jelasnya dalam diskusi INDEF bertajuk Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja, kemarin (25/1).

Berikutnya, lanjut Tauhid, pekerja dengan masa kerja diatas setahun ke atas mengikuti ketentuan upah sesuai dengan struktur upah dan skala upah pada masing-masing perusahaan. Artinya upah dapat dinegosiasikan. Hal ini perlu diatur lebih detail mengingat kemungkinan upah dapat berada dibawah upah minimum mengingat supply tenaga kerja di Indonesia yanga banyak, sehingga selalu ada ruang bagi pengusaha untuk negosiasi.

“Ini dikhawatirkan menjadi jalan bagi pengusaha untuk menekan pekerja dengan asumsi kinerja perusahaan yang tidak dalam kondisi baik. Perlu diatur lebih lanjut mekanisme detail struktur upah dan skala upah pada masing-masing perusahaan,”lanjutnya.

Kemudian, terkait skema upah per jam yang diberlakukan pada jenis pekerjaan tertentu, tidak bisa diterapkan pada jenis pekerjaan yang bersifat labor intensive. Sebab, jika hal tersebut diterapkan maka akan menimbulkan ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Umumnya pekerja yang bekerja dengan skema labor intensif tidak punya pilihan banyak untuk pindah pada pekerjaan lain yang memiliki upah lebih tinggi.

“Skema upah per jam sebaiknya dibuat dalam skema tertutup (closed) pada jenis pekerjaan tertentu dan hanya diperuntukkan pada jenis pekerjaan dengan karakteristik tertentu, termasuk jenis pekerjaan baru. Jenis pekerjaan per jam ini artinya perlu dilampirkan dalam peraturan lebih teknis sehingga ada kepastian bagi pengusaha maupun pekerja sehingga tidak membingungkan buruh ataupun pengusaha itu sendiri,”urainya.

Peneliti INDEF Agus Herta Sumarto menambahkan, jika benar pemerintah mengubah sistem pengupahan dengan sistem pengupahan berdasarkan jam kerja, maka hal ini bisa menimbulkan potensi masalah baru. Menurut BPS, sampai dengan Agustus 2019 terdapat 28,88 persen penduduk yang bekerja di bawah jam kerja normal atau 35 jam per minggu, dimana sebagian mendapatkan upah sebagai tenaga kerja penuh. “Dengan pemberlakuan sistem pengupahan berdasarkan jam kerja maka diperkirakan akan ada kelompok pekerja yang berpotensi kehilangan sebagian pendapatannya. Padahal selama ini kelompok ini masuk ke dalam kelompok ekonomi kelas menengah bawah,”tambahnya.

Agus menuturkan, selanjutnya yang juga dipermasalahkan kelompok pekerja adalah penggunaan tenaga kerja asing (TKA). Sejak pemberlakukan MEA tahun 2012, Indonesia sudah harus menerima TKA asing tanpa boleh membuat peraturan atau mekanisme yang dapat menghambat masuknya TKA yang berasal dari negara-negara anggota ASEAN. Untuk itu, UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah tidak bisa lagi dijadikan sandaran yuridis dalam pengaturan TKA di Indonesia. “Langkah pemerintah membuat Omnibus Law yang salah satu klasternya adalah pengaturan jumlah, mekanisme, dan kualifikasi TKA mutlak diperlukan. Namun tentunya pengaturan tersebut harus tetap memperhatikan kepentingan tenaga kerja nasional. Jangan sampai keberadaan TKA merugikan kelompok pekerja secara keseluruhan,”lanjutnya.

Masalah terakhir yang menjadi perhatian kelompok pekerja adalah mengenai PHK. Sebelumnya, masalah PHK ini telah diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Kelompok pekerja mengkhawatirkan hilangnya pesangon bagi pekerja yang terkena PHK. Dalam draft Omnibus Law yang tesebar ke publik, istilah pesangon diubah menjadi tunjangan PHK. Tunjangan PHK diberikan sebesar 6 bulan upah, sedangkan di aturan sebelumnya, pekerja berhak memperoleh hingga 38 bulan upah. Namun berdasarkan draft Omnibus Law yang tersebar ke publik tersebut, pengaturan pesangon ini sepertinya lebih diperinci. Pemberian pesangon didasarkan pada lamanya tahun bekerja para pekerja tersebut.

“Secara keseluruhan semangat dan tujuan dari pembuatan Omnibus Law ini adalah baik. Namun permasalahannya adalah aturan turunannya nanti yang akan merinci pasal-pasal dalam Omnibus Law tersebut. Banyak pasal yang rincian peraturannya diserahkan ke dalam peraturan menteri. Peraturan inilah yang nanti harus benar-benar diperhatikan jangan sampai tujuan yang sudah baik ini malah kontra produktif,”imbuhnya. (ken)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

THR-Gaji Ke-13 Cair Penuh, Sesuai Skema Kenaikan

Minggu, 17 Maret 2024 | 07:45 WIB

Ini Dia Desa Terindah nan Memesona di Jawa Tengah

Sabtu, 16 Maret 2024 | 10:25 WIB

Cuaca Ekstrem Diprakirakan hingga Mudik Lebaran

Jumat, 15 Maret 2024 | 10:54 WIB
X