RENCANA pemindahan ibu kota negara (IKN) masih menuai pro dan kontra. Pihak yang menolak beralasan rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) memindahkan pusat pemerintahan ke Benua Etam, justru bakal membawa dampak negatif. Sebab dituding menguntungkan elite politik ketimbang menyejahterakan masyarakat Kaltim.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah mengungkapkan, pemindahan IKN adalah kepentingan menarik investasi. Di samping kepentingan elite politik setelah pemilihan presiden (pilpres).
Sebab di atas lahan seluas 180 ribu hektare --sebelum diputuskan perluasan lahan kawasan IKN adalah 256 hektare, didominasi kepemilikan lahan oleh elite politik. Koalisi masyarakat sipil yang beranggotakan Jatam Nasional, Jatam Kaltim, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Walhi Kaltim, Trend Asia, Forest Watch Indonesia, Pokja 30, serta Pokja Pesisir dan Nelayan melakukan penelitian.
Dalam penelitian itu ditemukan 162 konsesi di atas lahan seluas 180 hektare. “Penelitian ini menggunakan metodologi riset beneficial ownership. Jadi kami mengakses data perusahaan beserta komisaris hingga pemegang saham. Di situ terlihat siapa pemilik konsesinya,” ungkap Merah.
Dalam data tersebut, memaparkan konsesi kehutanan hingga konsesi pertambangan yang dimiliki elite politik. Dengan demikian, negosiasi pemerintah pusat untuk memindahkan IKN yang berorientasi pada rakyat patut dipertanyakan. Kemudian patut diduga ada negosiasi terhadap pemilik lahan. “Sehingga Rp 466 triliun akan digunakan untuk negosiasi kepada pemilik konsesi itu,” beber dia.
Pria kelahiran Balikpapan, 27 Januari 1983 itu menyebut, pemerintah pusat keliru melihat Kaltim sebagai ruang kosong. Padahal Benua Etam adalah korban dari proses industrialisasi sebelumnya. Mulai kayu, migas, hingga batu bara. Jadi, diperlukan pemulihan lingkungan.
Sementara itu, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Yohanes Budi Sulistioadi menjelaskan, sejak 1960-an, Kaltim selalu dieksploitasi untuk kegiatan industri. Mulai 1960-an “dikangkangi” industri kayu, dilanjutkan pada 1980-an dieksploitasi untuk hutan tanaman industri. Pada dekade 1990-an hingga awal 2000-an, giliran industri tambang yang berkembang. “Enggak tahu habis ini, apalagi,” sindirnya.
Adapun Direktur Perkotaan Perumahan dan Permukiman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Tri Dewi Virgiyanti mengatakan, alasan pemindahan IKN ke Kaltim karena ketimpangan spasial. Secara kewilayahan antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa. Terkhusus di IKN saat ini, DKI Jakarta.
Dengan begitu, perlu dilakukan kajian mendalam, agar tidak mengulangi kesalahan pembangunan di calon IKN baru nanti. “Kami tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Kami terus perbaiki itu. Niat dari kami secara kuat,” jawab Virgi, sapaan akrab Tri Dewi Virgiyanti.
Nantinya DKI Jakarta tidak ditinggalkan begitu saja. Berulang Bappenas bahkan Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam keputusan memindahkan IKN ke Kaltim, melibatkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Berdiskusi mengenai kemungkinan perbaikan di DKI Jakarta.
“Sudah ada rencana perbaikan di DKI Jakarta. Namun, perwujudannya tentu saja, perlu dukungan dari semua pihak. Karena di sana adalah daerah khusus juga. Punya gubernur tapi ada beberapa kepentingan nasional juga di dalamnya,” terang dia. (kip/rom/k16)