Indeks Persepsi Korupsi Naik, Dewas: KPK Tetap Harus ’’Digonggongi’’

- Jumat, 24 Januari 2020 | 23:02 WIB

JAKARTA– Transparency International Indonesia (TII) merilis hasil penilaian indeks persepsi korupsi (IPK) selama 2019. Skor Indonesia naik dua poin. Namun, prestasi tersebut tidak mencakup dinamika pelemahan KPK yang ramai pada akhir 2019. Berbanding terbalik, kekuatan masyarakat sipil dalam mendorong pemberantasan korupsi justru menurun.

Hasil penelitian itu disampaikan TII di Sequis Center, Jakarta, (23/1). IPK Indonesia meningkat dari 30 menjadi 40. Secara internasional, peringkat RI juga naik dari 89 menjadi 85.

Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengungkapkan, kenaikan itu diiringi dengan pendapat para pelaku bisnis yang menjadi responden bahwa ekonomi Indonesia masih menjanjikan dan tidak ada masalah dalam investasi. Masalah justru ada pada penegakan hukum dalam upaya pemberantasan korupsi. ’’Pada saat yang sama, ada dua problem penting untuk masa depan pemberantasan korupsi. Yang pertama pelemahan KPK dan kedua, menyempitnya ruang ekspresi publik,’’ jelas Dadang kemarin. Dengan bayangan bahwa KPK tidak akan sama dengan sebelum undang-undang direvisi, dia mendorong seharusnya ada peran masyarakat sipil yang diperkuat. Yang sayangnya terhalang pembatasan ruang berekspresi tersebut.

Sumbangan peningkatan skor IPK itu paling banyak berasal dari PRS International Country Guide yang mencapai skor 58. Namun, secara rata-rata, IPK Indonesia hanya 40 karena beberapa aspek masih di bawah garis IPK. Salah satunya, penilaian World Justice Project. Indonesia hanya mendapat skor 21. Pemerintah, seperti pernah disampaikan Presiden Joko Widodo, menargetkan Indonesia bisa memiliki skor IPK hingga 50. Menurut Dadang, jika ingin mencapai target itu, harus ada pembenahan ekstra di aspek-aspek tersebut. Terutama dalam hal sistem peradilan dan parlemen.

Dia menggarisbawahi bahwa penilaian Transparency International itu dilakukan pada Agustus–Oktober 2019. Artinya, penilaian tidak menangkap dinamika perubahan UU KPK serta pelemahan terhadap lembaga antirasuah tersebut secara utuh. Jika mencakup itu, Dadang memperkirakan nilai IPK-nya mungkin berbeda. Tidak tertutup kemungkinan akan ada perubahan IPK dalam penelitian pada 2020. Namun, jaraknya sudah jauh di depan sehingga lagi-lagi dinamika pelemahan KPK pada akhir 2019 mungkin tidak akan tercakup lagi.

Anggota Dewan Pengawas KPK Syamsuddin Haris berpendapat, negara dan masyarakat tidak bisa hanya bergantung pada institusi penegak hukum untuk melawan korupsi. Syamsuddin menarik garis terkait korupsi itu secara lebih komprehensif, yakni berakar pada sistem politik di Indonesia. Khususnya pada partai politik. Menurut dia, parpol sebagai lembaga yang mencetak pemimpin-pemimpin dan para pejabat tinggi punya andil besar pada maraknya praktik korupsi. ’’Saya berpendapat, meskipun sudah dua dekade kita meninggalkan sistem otoriter, pada dasarnya sistem politik kita masih melembagakan dan memfasilitasi politik koruptif,’’ jelasnya.

Syamsuddin menegaskan, tidak ada komitmen dari negara untuk membuat sistem politik yang akuntabel, bersih, dan tidak koruptif. Ketika memasuki kantor kementerian/lembaga atau instansi tingkat daerah, memang kerap ditemukan slogan wilayah bebas korupsi. Namun, Syamsuddin menilai pada akhirnya itu hanya menjadi jargon. Komitmen antikorupsi di lembaga sebatas meraih penilaian wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK. Dia memastikan, hal itu tidak menjamin tidak ada praktik korupsi di lembaga tersebut.

 Syamsuddin juga menyoroti lemahnya peran masyarakat sipil dalam penguatan sistem antikorupsi. Menurut dia, dengan posisi KPK yang lemah saat ini, tidak ada pilihan selain memberikan desakan dan tekanan kepada pemerintah maupun lembaga antirasuah secara signifikan. ’’KPK itu harus digonggongi. DPR, pemerintah juga harus digonggongi. Maksudnya mengingatkan, Anda itu membawa bangsa ini masuk jurang. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab civil society,’’ tegasnya.

Argumentasi tentang masyarakat sipil itu diperkuat peneliti Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam. Dia melihat skor 40 merupakan pencapaian yang sangat baik, tapi rawan stagnan jika melihat kondisi masyarakat yang masih sangat permisif. ’’Masyarakat cenderung tidak resistan terhadap korupsi. Ditambah ada penurunan indeks demokrasi di Indonesia terendah sepanjang satu dekade terakhir menunjukkan melemahnya kekuatan civil society dan kekuatan yang terpolarisasi,’’ jelas Umam. (deb/c7/oni)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Ibu Melahirkan Bisa Cuti hingga Enam Bulan

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:30 WIB

Layani Mudik Gratis, TNI-AL Kerahkan Kapal Perang

Selasa, 26 Maret 2024 | 09:17 WIB

IKN Belum Dibekali Gedung BMKG

Senin, 25 Maret 2024 | 19:00 WIB

76 Persen CJH Masuk Kategori Risiko Tinggi

Senin, 25 Maret 2024 | 12:10 WIB

Kemenag: Visa Nonhaji Berisiko Ditolak

Sabtu, 23 Maret 2024 | 13:50 WIB

Polri Upaya Pulangkan Dua Pelaku TPPO di Jerman

Sabtu, 23 Maret 2024 | 12:30 WIB

Operasi Ketupat Mudik Dimulai 4 April

Sabtu, 23 Maret 2024 | 11:30 WIB

Kaji Umrah Backpacker, Menag Terbang ke Saudi

Jumat, 22 Maret 2024 | 20:22 WIB
X