Dianggap Halangi Penyidikan, Yasonna Dilaporkan ke KPK

- Jumat, 24 Januari 2020 | 22:59 WIB
Yasonna
Yasonna

JAKARTA - Blunder Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly yang "ngotot" mengatakan Harun Masiku masih berada di luar negeri dibawa ke jalur hukum. Koalisi masyarakat sipil melaporkan Yasonna ke KPK karena diduga melakukan upaya obstruction of justice atau menghalangi penyidikan.

Total ada 19 entitas yang tergabung dalam koalisi pelapor tersebut. Diantaranya Indonesia Corruption Watch (ICW), YLBHI, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Kontras, BEM UI, Perludem, Imparsial, Jatam, hingga LBH Pers. Perwakilan koalisi membawa bukti dan data terkait dengan dugaan perintangan penyidikan itu. Seperti rekaman CCTV Bandara Soetta.

Perwakilan koalisi masyarakat sipil Kurnia Ramadhana mengatakan pernyataan Yasonna yang menyebut Harun Masiku masih berada di luar negeri pada 16 Januari lalu terbukti tidak benar. Pasalnya, berdasar penelurusan sejumlah media, Harun tercatat sudah berada di Indonesia sejak 7 Januari. "Kami melihat ada keterangan yang tidak benar yang disampaikan Yasonna," kata Kurnia, Kamis (23/1).

Keterangan Yasonna itu terpatahkan oleh penjelasan anak buahnya sendiri, Dirjen Imigrasi Ronny F. Sompie Rabu (22/1) lalu. Imigrasi yang semula juga ngotot bahwa Harun belum kembali ke Indonesia sejak 6 Januari lalu itu mengakui bahwa ada kesalahan sistem di bandara Soetta. Pun, imigrasi akhirnya mengakui bahwa Harun telah kembali ke Indonesia sebagaimana hasil penelusuran media.

Kurnia menjelaskan, pernyataan Yasonna itu disampaikan saat KPK tengah melakukan penyidikan kasus suap komisioner KPU Wahyu Setiawan. Dan Harun sebagai salah satu tersangka dalam perkara itu. Dengan demikian, pernyataan Yasonna bisa dikategorikan upaya menghambat kerja KPK yang sedang memburu Harun.

"Rentang waktu dua minggu kami pandang tidak cukup membenarkan alasan dari Dirjen Imigrasi kemarin," ujar Kurnia. Dia menyebut jajaran Kemenkumham mestinya tidak menyampaikan informasi yang belum pasti kebenarannya. Sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan perdebatan di ruang publik.

Di sisi lain, Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) melayangkan surat gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. MAKI meminta hakim memerintahkan KPK untuk menetapkan tersangka lain dalam kasus dugaan suap komisioner KPU.

"KPK nyata tidak menjalankan tugas dan kewajibannya untuk mengembangkan dan melanjutkan penyidikan dengan menetapkan tersangka baru atau tersangka lain," ujar koordinator MAKI Boyamin Saiman. Menurutnya, penetapan tersangka baru harus dilakukan lantaran adanya bukti dan fakta keterlibatan petinggi PDIP dalam kasus tersebut.

Sementara itu, Dewan Pengawas KPK belum bergerak terkait dugaan kelalaian KPK dalam pengejaran Harun Masiku. Meskipun sudah ada laporan masyarakat yang masuk dan meminta Dewas mengevaluasi kinerja pimpinan yang terkesan lamban dalam menangani kasus suap komisioner KPU ini. Dewas belum memasukkan hal tersebut dalam pelanggaran kode etik atau bukan.

 

 Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris menyatakan bahwa penyelesaian pelanggaran oleh pimpinan KPK tergantung masuk kode etik atau tidak. Syamsuddin menegaskan bahwa fungsi pengawasan itu bakal dijalankan secara total oleh dewas, namun dibedakan antara pelanggaran etik dan bukan. "Poin saya kita tentu akan mengevaluasi semua itu cuma tidak bersifat kasuistik. Kecuali bersifat etik, kalau kode etik itu kasuistik," jelas Syamsuddin (23/1).

Untuk yang tidak kasuistik, lanjut dia, mengacu pada pelanggaran SOP. Apabila ada pelanggaran dalam hal tidak segera mengajukan izin penggeledahan atau penangkapan, maka hal itu masuk ke pelanggaran SOP. "Kalau kinerja secara umum seperti penyimpangan SOP dan sebagainya itu ada waktunya," lanjutnya.

Syamsuddin menambahkan, pengawasan terhadap pimpinan dilakukan dengan sistem post audit atau secara berkala dalam rentang waktu tertentu. Dalam hal ini, Dewas tengah menyusun draft kode etik baru tersebut, dan di dalamnya bakal diatur evaluasi berkala selama tiga bulan. Namun, selagi belum ada kode etik baru tersebut, dia menyatakan tidak ada masalah karena Dewas masih bisa menggunakan kode etik lama sebagai acuan.

Kalaupun ada laporan masyarakat atau pihak-pihak tertentu mengenai pelanggaran yang dilakukan pimpinan KPK, Syamsuddin meminta ada bukti-bukti yang jelas. Tujuannya agar bisa segera ditindaklanjuti oleh Dewas dalam kurun waktu tiga bulan ini. "Sebab bagaimanapun kalau pengaduan tidak ada buktinya juga percuma. Butuh kelengkapan bukti-bukti apakah yang diadukan itu sesuatu yang kuat atau tidak," paparnya. (tyo/deb)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Ibu Melahirkan Bisa Cuti hingga Enam Bulan

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:30 WIB

Layani Mudik Gratis, TNI-AL Kerahkan Kapal Perang

Selasa, 26 Maret 2024 | 09:17 WIB

IKN Belum Dibekali Gedung BMKG

Senin, 25 Maret 2024 | 19:00 WIB

76 Persen CJH Masuk Kategori Risiko Tinggi

Senin, 25 Maret 2024 | 12:10 WIB

Kemenag: Visa Nonhaji Berisiko Ditolak

Sabtu, 23 Maret 2024 | 13:50 WIB

Polri Upaya Pulangkan Dua Pelaku TPPO di Jerman

Sabtu, 23 Maret 2024 | 12:30 WIB

Operasi Ketupat Mudik Dimulai 4 April

Sabtu, 23 Maret 2024 | 11:30 WIB

Kaji Umrah Backpacker, Menag Terbang ke Saudi

Jumat, 22 Maret 2024 | 20:22 WIB
X