Tahun ini, iuran premi asuransi BPJS Kesehatan naik. Pro-kontra terjadi di masyarakat. Ada yang tak setuju. Ada pula yang setuju. Kenaikan iuran BPJS itu dua kali lipat untuk kelas I dan II.
NOFIYATUL CHALIMAH, Samarinda
PERATURAN Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 telah terbit. Dalam perpres itu memuat kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III, dari semula Rp 25,5 ribu per bulan menjadi Rp 42 ribu. Lalu kelas II dari Rp 51 ribu jadi Rp 110 ribu. Kemudian kelas I naik dari Rp 80 ribu jadi Rp 160 ribu.
Fatimah (35), jadi orang yang tak setuju dengan kenaikan ini. Warga Samarinda yang juga peserta BPJS Kesehatan itu memilih turun kelas. Dari semula kelas II menjadi kelas III. “Di rumah, anggota keluarga ada lima orang. Kalau tetap di kelas II, tiap bulan saya habis Rp 500 ribu sendiri untuk bayar BPJS saja. Pakainya juga belum tentu sebulan sekali,” kata perempuan yang sehari-hari berdagang di pasar itu.
Fatimah memahami jika konsep BPJS Kesehatan adalah gotong royong. Namun baginya, hal itu belum pas untuk masyarakat Indonesia yang penghasilannya masih terbatas. Dia merujuk negara-negara lain yang bisa memberikan pelayanan kesehatan gratis untuk warganya.
Namun, pendapat berbeda diutarakan Muhammad Hidayat (30). Warga Palaran, Samarinda itu mengaku tak masalah jika BPJS Kesehatan naik. Toh, pada dasarnya BPJS Kesehatan itu seperti asuransi. Dibandingkan asuransi lain, BPJS Kesehatan lebih murah.
Pekerja di salah satu perusahaan swasta di bidang keuangan di Samarinda itu mengatakan, bila premi BPJS Kesehatan yang menanggung adalah kantornya. Sehingga, dia tidak begitu merasakan kenaikannya. “Mungkin efek psikisnya beda ya antara dipotong sebelum kita menerima gaji. Sama mengeluarkan sendiri dari gaji yang diterima,” imbuhnya.
Dayat mengaku merasakan banyak manfaat BPJS Kesehatan. Ketika istrinya melahirkan dengan mekanisme caesar pertengahan 2019 lalu, dia tidak perlu bingung cari biaya persalinan. Semua ditanggung BPJS Kesehatan. “Kalau pelayanannya ya bagus saja sih. Saya pilih-pilih rumah sakitnya. Kalau rumah sakit yang ramai, dokternya kurang teliti karena harus cepat,” ungkap ayah dua anak itu.
Tim Riset Kaltim Post pun melakukan penelitian soal tanggapan masyarakat terhadap kenaikan iuran BPJS itu. Awak Tim Riset Kaltim Post, Syafitri menyebut, bila mayoritas responden yang disurvei tak setuju iuran BPJS Kesehatan naik.
“Alasannya karena beban keuangan semakin bertambah. Apalagi yang sudah berkeluarga, tanggungannya tambah banyak. Ada yang harus menanggung empat anggota keluarganya untuk bayar iuran BPJS. Sedangkan keperluan yang lain masih banyak,” papar perempuan yang akrab disapa Vivi itu.
Tak cuma itu, alasan lain masyarakat tak setuju bila iuran BPJS Kesehatan naik adalah kenaikan iuran tersebut tidak menjamin kualitas pelayanan makin bagus. Vivi melanjutkan, sebab bila dilihat-lihat, waktu pelayanan di dokter umum juga masih dibatasi. “Kita enggak bisa lama-lama konsultasi atau tanya-tanya. Padahal bayar iurannya sudah mahal banget,” sambungnya.