Persoalan banjir di Kota Tepian tak kunjung terselesaikan. Pemerintah berpotensi digugat warganya, baik melalui class action maupun citizen lawsuits. Jatam Kaltim siap membantu warga.
SAMARINDA–Belum genap setahun, Kota Tepian sudah berkali-kali terendam. Jumlah warga terdampak air bah pun tak sedikit. Permasalahan "klasik" yang melanda Samarinda menuai pertanyaan sejumlah pihak, terkait program-program yang dijalankan pemerintah daerah.
Warga yang notabene menjadi korban, sebenarnya dapat menuntut keadilan kepada pemerintah. Hal itu dikemukakan Herdiansyah Hamzah, dosen Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Menurut dia, masyarakat yang terdampak bencana itu dapat menuntut pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bahkan, bukan masyarakat terdampak langsung saja yang dapat menggugat pemerintah. Gugatan juga bisa dilakukan oleh organisasi lingkungan hidup (LH). "Tentu untuk organisasi LH juga ada syaratnya, seperti berbadan hukum, bergerak di lingkungan hidup dan sudah dua tahun berkecimpung dalam lingkungan," beber pria berkacamata tersebut.
"Ini sifatnya class action. Untuk masyarakat yang tidak terdampak langsung juga bisa menggugat, yang disebut citizen lawsuits," sambungnya. Pada 2014, lanjut dia, masyarakat pernah menggugat pemerintah kota (pemkot), melalui Gerakan Samarinda Menggugat (GSM). "Bisa ajukan ke Pengadilan Negeri, tinggal tentukan mau melalui organisasi LH atau dari masyarakat yang berkumpul menjadi satu, bisa juga dibantu dengan pengacara atau lembaga bantuan hukum nantinya," tandas dia.
Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang membuka pintu sebesar-besarnya jika ada warga yang mau menggugat Pemkot Samarinda. Dia siap membantu warga yang ingin menggugat pemerintah karena banjir. “Kalau dari kami siap, kami akan bantu. Warga kota bisa menuntut pemerintah," tegasnya.
Rupang menilai, banjir di Kota Tepian bukan hanya karena faktor cuaca. Pembukaan lahan yang masif pada hulu Sungai Karang Mumus (SKM) menjadi salah satu penyebabnya. Daerah hulu seharusnya menjadi daerah tangkapan air. “Lihat saja hulu SKM, setidaknya ada lima tambang, itu juga yang berandil besar, SKM sudah tidak mampu menampung aliran air dari hulunya," beber dia.
Rupang juga menilai, penerapan Perda Nomor 02 Tahun 2014 tidak berjalan maksimal. "Perda itu juga nggak maksimal, RTH yang ada juga jauh dari peraturan. Pemkot juga sepertinya tidak serius menyikapi masalah yang ada," tandasnya. (*/dad/kri/k8)