JAKARTA– Wahyu Setiawan secara resmi diberhentikan secara tetap sebagai komisioner KPU. Dia terbukti melanggar kode etik berdasarkan Peraturan DKPP Nomor 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Keputusan tersebut dibacakan dalam sidang putusan DKPP, kemarin (16/1). ’’Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu (Wahyu Setiawan, Red) sebagai anggota KPU sejak putusan ini dibacakan,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DKPP Muhammad yang memimpin sidang.
Sidang yang berlangsung sejak pukul 14.00 tersebut menghasilkan empat poin keputusan. Selain memecat Wahyu Setiawan, majelis juga menyatakan mengabulkan semua putusan Bawaslu sebagai pengadu. Selain meminta DKPP menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap, Bawaslu juga meminta pemeriksaan terhadap seluruh komisoner KPU. Poin ketiga, memerintahkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan putusan DKPP. Berikutnya adalah meminta presiden melaksanakan putusan DKPP paling lambat tujuh hari sejak putusan tersebut dibacakan. ’’Setelah ini, putusan akan dikirim ke Pak Presiden,” jelas Muhammad.
Anggota DKPP Ida Budhiati menambahkan, Wahyu Setiawan telah menunjukkan iktikad buruk sebagai penyeleggara pemilu. Yang bersangkutan telah menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan pribadi. Terbukti dari tindakan KPK yang melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menetapkan Wayus ebagai tersangka. Tindakan itu dinilai meruntuhkan kredibilitas dan integritas KPU. ’’Sikap dan tindakan teradu adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi,” tegas Ida Budhiati.
Ida melanjutkan, Wahyu terbukti melanggar kode etik berat. Di antaranya melanggar pasal 8 huruf A Peraturan DKPP Nomor 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu. Dalam ketentuan tersebut, KPU atau Bawaslu harus menghindari pertemuan yang bisa menimbulkan kesan keberpihakan terhadap peserta pemilu.
Selain itu Wahyu juga melanggar Peraturan KPU Nomor 8/2019 tentang Tata Kerja KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Di pasal 75 ayat 1 huruf G menegaskan larangan untuk tidak melakukan pertemuan dengan peserta pemilu maupun tim kampanye di luar kantor KPU atau di luar kedinasan. Ketentuan itu, imbuh Ida, seharusnya dipahami sebagai sistem pengendalian internal KPU. Itu sebagai sarana kontrol semua setiap anggota. ’’Tapi nyatanya ketentuan ini tidak berjalan dengan baik,” papar mantan komisioner KPU RI itu.
Sistem kontrol di internal KPU juga tidak berjalan. Indikasi itu terlihat dari bebasnya Wahyu Setiawan menggelar pertemuan dengan peserta pemilu di luar kantor. Aktivitas pertemuan tersebut, jelas Ida, harusnya dilaporkan. ’’Ini juga pelajaran bagi ketua dan anggpta KPU, jangan pernah menerima tamu sendirian. Ini riskan,” paparnya.
Sistem operasional prosedur (SOP) harus ditegakkan. Dalam menerima tamu dijam kantor, misalnya. Harus melibatkan komisioner yang lain. Minimal ada pihak sekretariat untuk mendengarkan dan mencatat yang disampaikan. Dengan tidak menerima tamu seorang diri, penyelenggara pemilu setidaknya sudah menghindari tuduhan negatif atau kecurigaan pihak lain. Dengan begitu, kemandirian dan integritas bisa terwujud. Pihaknya juga mengingatkan tentang tertib administrasi pemilu. Itu bagian dari pelaksanaan prinsip profesionalitas dan akuntabilitas. ’’Kalau muncul persoalan keberpihakan atau kecurigaan, maka dokumen bisa membantu menjelaskan. Tidak harus berbusa-busa untuk menjelaskan ke publik,” tegasnya. (mar)