Banjir sudah sangat akrab dengan panti asuhan ini. Januari ini sudah tiga kali. Bulan lalu 14 kali. Hasrat untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi terhalang biaya.
NOFIYATUL CHALIMAH, Samarinda
ZAKIA gelisah siang itu. Banjir telah memenuhi seluruh rumah hingga setinggi lututnya. Dia bersiap bermalam di musala di samping kediamannya bersama anak-anak. Bayang-bayang Ramadan dua tahun lalu muncul di kepalanya, saat genangan setinggi paha memaksanya tidur di musala. Tiga hari tiga malam. Bersama anak-anak.
Beruntung tim pemadam kebakaran tiba-tiba datang Selasa (14/1) malam itu. Menawarkan bantuan menyedot air keluar dari rumah. Beruntungnya lagi, air berhasil disedot dan hanya menyisakan genangan di teras pada dini hari kemarin (15/1).
Rumah yang ditempati Zakia bukan rumah biasa. Rumah ini juga panti asuhan. Namanya Panti Asuhan Baitul Walad. Di sini, Zakia merawat 15 bayi dan balita. Panti asuhan ini turut mengasuh 74 anak di atas enam tahun yang sudah bersekolah.
Bersama suaminya, Farid Agus Setiawan, pemilik nama lengkap Zakia Hubudiyah itu sudah menggulirkan roda panti asuhan selama 10 tahun. Zakia pun telah akrab dengan banjir yang kerap menyambangi panti asuhan di Jalan Flamboyan, Sungai Kunjang, Samarinda, tersebut.
“Desember 14 kali kebanjiran, kalau Januari ini sudah tiga kali,” kisah Zakia.
Jika banjir, dia dan para pengasuh memilih tidak tidur. Bergantian menjaga bayi. Tiap tiga-empat jam berganti jaga. Sebab, jika banjir masuk rumah, bayi dan balita tetap tidur di kotak ranjang mereka yang tinggi. Sementara pengasuh duduk menunggu di sebelahnya.
Tanggul di depan rumah pun sudah dibuat untuk menghalangi air masuk. Namun, air tetap menemukan celah menyelip ke rumah ini melalui bagian belakang.
Ketika banjir, tak hanya tenaga ekstra yang keluar. Tetapi, biaya yang juga makin banyak. Dia pun sudah tak lagi memakai lemari kayu karena cepat rusak saking kerap disatroni banjir. Saat ini, lemari yang dia pakai adalah yang berbahan plastik. Belum lagi, risiko dikunjungi ular saat banjir.
“Kemarin malam (14/1) saja, sudah ada ular besar hampir selingkar paha di parit depan. Lalu orang pemadam tahu dan ditangkap. Itu saja susah tangkapnya, sekitar setengah jam baru bisa. Belakang panti ini kan gunung, jadi banyak sarang ularnya,” cerita perempuan yang tengah mengandung tersebut.
Pihaknya pun ingin membangun panti baru di area belakang rumah yang posisinya lebih tinggi. Sehingga tak khawatir kebanjiran. Namun, dana yang diperlukan cukup besar. Hitungan Zakia dan temannya menyentuh angka Rp 8,5 miliar. Angka sebesar itu membuat Zakia menunda dulu niatnya. Dia memilih mendahulukan keinginan untuk memberi tanggul di sekeliling panti asuhan. Jadi, air tak bisa masuk. Sembari berharap banjir tak menyatroni rumah ini lagi.
Bagi dia, terpenting saat ini adalah kondisi anak-anak panti asuhan yang masih bayi dan balita. Sebab, ketika banjir, mereka pasti kesusahan air bersih. Jika begini, para balita mesti cebok dengan air minum dan mandi hanya dengan tisu basah.