Imbas Alih Fungsi Lahan dan Drainase Buruk

- Rabu, 15 Januari 2020 | 13:23 WIB
Banjir di Jalan Pramuka Samarinda. Di jalan ini drainasenya sangat buruk.
Banjir di Jalan Pramuka Samarinda. Di jalan ini drainasenya sangat buruk.

BANJIR yang terjadi di Samarinda bukan semata karena topografi ataupun fenomena cuaca ekstrem belakangan ini. “Jika masalahnya itu, Samarinda bakal banjir sejak jaman purbakala,” ucap akademisi Universitas Mulawarman (Unmul) Bernaulus Saragih. Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan Samarinda kerap banjir. Mulai intensitas hujan, luas daerah tangkapan air (daerah aliran sungai), kualitas tangkapan air, hingga drainase (saluran air) yang ada.

“Empat faktor itu yang menjadi penentu. Kalau curah hujan memang tidak bisa kita tentukan karena faktor alam, yang bisa dianalisis itu soal daerah tangkapan airnya,” jelasnya. Pengupasan dan alih fungsi lahan menjadi penyebab daerah tangkapan air di ibu kota Kaltim menjadi menurun. “Itu juga didukung dengan keadaan selama ini, bisa dilihat dari informasi yang ada, seperti di hulu Sungai Karang Mumus, seperti Pampang, Sungai Siring, dan Sungai Lantung yang dulunya hijau dan daerah tangkapan air tapi sudah berubah fungsinya,” ungkap dosen Fakultas Kehutanan Unmul tersebut. 

Selain itu, pendangkalan SKM dan sistem drainase yang buruk turut memperbesar faktor banjir. Bernaulus turut mempertanyakan kualitas pembangunan drainase yang ada. “Saya juga selalu mengatakan untuk mengatasi banjir perlu satu koordinasi, selalu konsistensi dan adanya keberlanjutan. Jangan sporadis, bangun di sana-sini tapi tidak kesinambungan, ya sama saja bohong. Harus ada rencana yang baik,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kaltim Hafidz Prasetyo mengungkapkan, penanganan banjir di Kota Tepian seolah tidak menyentuh permasalahan utamanya. Menurutnya, perhatian pemerintah di wilayah hulu masih minim. Pembukaan lahan yang masif, membuat banjir makin parah terjadi di Samarinda. Hulu yang semula sebagai tempat resapan air, berubah menjadi lahan tambang dan perumahan.

Akibatnya, sungai pun menambah beban berat akibat air semua lari ke sungai ditambah tanah sedimentasi. “Kan kita tahu Samarinda 70 persen wilayahnya sudah dikaveling konsesi tambang. Nah, parahnya enggak ada satu pun perusahaan tambang yang melakukan reklamasi atau rehabilitasi lahan seusai mengeruk. Pemerintah pun sepertinya tidak ada upaya untuk mendorong perusahaan melakukan reklamasi itu,” ucap Hafidz.

Sementara itu, Kecamatan Samarinda Utara menjadi yang paling terdampak banjir. Sekitar 29 RT yang terdiri atas 5.431 jiwa menjadi korban banjir dari kecamatan ini. Padahal, Samarinda Utara adalah kawasan paling dekat dengan hulu Sungai Karang Mumus (SKM), sungai yang membelah Samarinda. Seharusnya, kawasan ini menjadi tempat paling banyak penghijauan. Tetapi sayang, di kawasan ini banyak pula pertambangan batu bara.

Dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kaltim 2014, sistem pengendalian banjir di Samarinda sebagaimana dimaksud melalui pembuatan kolam retensi dan kolam detensi untuk menampung luapan air yang terletak di Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda Ulu, dan Sungai Pinang. Namun, pembuatan kolam retensi juga susah karena sudah banyak permukiman di Samarinda Utara. Normalisasi SKM pun masuk Proyek Strategis Nasional (PSN) yang diusulkan Pemprov Kaltim dengan nilai Rp 2 triliun.

Diharapkan, normalisasi sungai ini bisa menanggulangi banjir di sebagian besar wilayah Samarinda. Anggarannya, mayoritas dari pusat. Pemprov hanya membantu upaya pembebasan lahan. “Pemprov Kaltim berusaha menghindari pembiayaan megaproyek dengan APBD. Namun, diarahkan agar bisa masuk ke skema pembiayaan proyek strategis nasional (PSN),” ucap Gubernur Isran Noor.

Namun, tepi SKM sudah dipenuhi rumah masyarakat, lebar sungai ini tinggal 5 meter, padahal seharusnya 40 meter, akibat banyaknya penduduk di tepi sungai. SKM harus menanggung beban dari hulu, masyarakat di tepinya, dan limbah masyarakat di sepanjang tubuhnya, kala hujan dia pun meluap. Pemerintah pun, harus menemui persoalan serius jika hendak melakukan normalisasi sungai. Ribuan rumah harus direlokasi, selain butuh uang tak sedikit, relokasi ribuan rumah ini perkara berat karena berkaitan masalah sosial.

Tentu, bukan perkara mudah memindahkan orang yang sudah puluhan tahun tinggal di kawasan tersebut. Meski begitu, Hafidz mengatakan, sudah banyak uang yang digelontorkan untuk mengatasi banjir. Namun, persoalan ini tak kunjung tuntas. Harus sinergi berbagai instansi karena kerjanya bukan hanya pada Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Kaltim atau Samarinda yang biasanya membuat drainase atau polder saja. Namun, lebih dari itu. Sebab, bicara mengatasi bukan lahan dan mengurangi izin tambang.

Normalisasi SKM pun disebut Hafidz sebagai penanganan jangka pendek, jika tidak menyentuh di hulu. “Rehabilitasi lahan dan menambah RTH (ruang terbuka hijau) yang menurutku ideal,” pungkas Hafidz. (nyc/dra/*/dad/*/eza/riz/k16)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X