Garam-Gula Masih Butuh Impor

- Rabu, 15 Januari 2020 | 13:03 WIB

JAKARTA– Dalam lima tahun terakhir, Indonesia belum mampu lepas dari ketergantungan impor garam dan gula. Tahun ini pun, kuota impor masih akan ditetapkan dan bahkan prediksinya bisa lebih dari tahun lalu. Pemerintah menyebutkan, tingginya kebutuhan dan standar bahan baku yang ditetapkan industri serta ditambah dengan belum kompetitifnya kualitas dan kuantitas produksi lokal membuat kebutuhan akan impor tak terhindarkan.

Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Muhammad Khayam membenarkan bahwa alokasi impor garam 2020 untuk industri memang kemungkinan meningkat. Pada 2019, alokasi impor garam mencapai 2,75 juta ton dan tahun ini naik berkisar 6 persen menjadi 2,92 juta ton. ”Kalau persetujuan saja, dialokasikan 2,92 juta ton. Jadi, lebih besar sedikit dari tahun lalu,” kata Khayam kemarin (14/1).

Pihak Kemenperin menyebutkan, impor garam terpaksa dilakukan karena industri dalam negeri membutuhkan. Garam yang dibutuhkan untuk industri mempunyai syarat atau ketentuan yang tinggi. ”Selama pasokan garam dan gula untuk industri mempunyai requirement tinggi untuk produk-produknya, mau tidak mau kami harus impor. Kami tidak boleh mematikan industri itu sendiri hanya karena tidak mempunyai bahan baku,” tambahnya.

Soal kualitas garam konsumsi, kadar NaCl harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu di atas 94,7 persen, sedangkan garam industri di atas 97 persen. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, pemerintah pada dasarnya ingin Indonesia tak lagi mengimpor garam. Namun, hal tersebut membutuhkan proses untuk pembenahan produksi garam rakyat.

Pada 2019, total produksi garam nasional sejumlah 2,1 juta ton yang terdiri atas 1,75 juta ton produksi garam rakyat dan 350 ribu ton produksi BUMN PT Garam. ”Tentu ada kesadaran dan ada political will dari kami agar impor gula dan garam ini semakin lama bisa berkurang,” ujarnya. Berdasar Badan Pusat Statistik (BPS), impor garam dalam kurun waktu lima tahun terakhir naik signifikan.

Total volume impor garam pada 2014 tercatat 2,3 juta ton. Kemudian, pada 2018, volume impor garam mencapai 2,8 juta ton meski nilai impornya justru tak naik karena faktor perkembangan harga. Pada 2014, nilai impor garam mencapai USD 104,3 juta, lalu pada 2018 sebesar USD 90,6 juta.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) membenarkan bahwa kuota garam impor disetujui naik 5–6 persen atau sekitar 570 ribu ton tahun ini. Menurut Ketua Umum Gapmmi Adhi S. Lukman, hal tersebut cukup wajar karena pelaku industri sendiri menargetkan pertumbuhan produksi pada 2020. ”Kami menargetkan tahun ini pertumbuhan produksi industri makanan dan minuman berkisar 9 persen,” ujarnya.

Bukan hanya impor garam, komoditas gula pun Indonesia masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan dari impor. Menperin menyebutkan, berdasar masukan para pelaku usaha, kebutuhan gula untuk industri sebanyak 3,2 juta ton per tahun. ”Dalam kacamata Kemenperin, industri ini spesifikasinya berbeda dengan konsumen. Maka, mau tidak mau harus lakukan impor agar industri bisa bergerak,” sahut Agus.

Kendati demikian, dia tetap berharap produksi gula dalam negeri banyak terserap. Dengan begitu, realisasi impor tak perlu sebanyak itu. Agus bercerita bahwa beberapa minggu lalu Kemenperin melakukan kunjungan kerja ke Taiwan dan bertemu dengan perusahaan besar, yakni Taiwan Sugar Corp. ”Mereka sudah siap investasi di Indonesia, tapi memang ada syarat-syarat yang mereka butuhkan sebelum investasi. Yaitu, butuh lahan seluas 50 ribu hektare minimal untuk kembangkan usaha,” ungkapnya. (agf/c12/oki)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB
X