Buronan KPK Itu Ada di Luar Negeri, Kantor KPU Digeledah

- Selasa, 14 Januari 2020 | 14:14 WIB
CARI TAMBAHAN BUKTI: Penyidik KPK menuju kantor KPU untuk menggeledah ruang kerja Wahyu Setiawan kemarin. (MUHAMAD ALI/JAWAPOS)
CARI TAMBAHAN BUKTI: Penyidik KPK menuju kantor KPU untuk menggeledah ruang kerja Wahyu Setiawan kemarin. (MUHAMAD ALI/JAWAPOS)

JAKARTA - KPK akhirnya mengungkap mengapa tersangka kasus suap komisioner KPU, yakni politisi Harun Masiku, tidak kunjung tertangkap. Harus diketahui sedang berada di luar negeri. Sementara itu, penyidik KPK akhirnya memulai penggeledahannya di kantor KPU terkait kasus ini. Sayangnya, nasib penggeledahan di partai yang bersangkutan, yakni PDIP, masih buram.

Keberadaan Harun di luar Indonesia itu diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron kemarin (13/1). "Info yang kami terima memang sejak sebelum adanya tangkap tangan, yang bersangkutan sedang di luar negeri," jelas Ghufron kemarin. Namun, dia tidak memerinci di negara mana tepatnya Harun bersembunyi.

Ghufron menyatakan, Senin siang pihak KPK sudah melakukan koordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM khususnya Ditjen Imigrasi terkait keberadaan Harun tersebut. Sebelumnya, KPK mengimbau agar Harun menyerahkan diri guna kepentingan penyidikan dan kesempatan baginya untuk menjelaskan duduk perkara. "Kalau pun tidak, nanti kita akan tetap cari dan kita masukkan dalam DPO (daftar pencarian orang)," lanjutnya.

Ketua KPK Firli Bahuri juga membenarkan informasi tersebut. Sementara ini KPK bergantung pada Imigrasi untuk bisa "memulangkan" kembali Harun. "Karena pihak imigrasi yang paham terkait perlintasan orang masuk dan keluar Indonesia. Dulu juga kita lakukan terhadap para tersangka korupsi," jelasnya secara tertulis.

Firli menegaskan bahwa bergulirnya kasus ini tidak terkait permintaan atau kepentingan tertentu. Sehingga dia juga berharap publik bisa memberikan waktu bagi para penyidik untuk menuntaskan proses penyidikan hingga fakta terkumpul secara utuh. "Prinsipnya penegakan hukum harus menghormati asas hukum dan HAM, tidak boleh melanggar hukum itu sendiri. Beri kesempatan untuk penyidik bekerja dan kita beri dukungan," lanjutnya. 

Menurut catatan Ditjen Imigrasi, Harun Masiku meninggalkan Indonesia sehari sebelum OTT dilakukan terhadap Wahyu Setiawan. "Dalam data perlintasan yang bersangkutan keluar tanggal 6 Januari 2020," jelas Kabag Humas dan Protokol Ditjen Imigrasi Arvin Gumilang kemarin. Harun diketahui pergi ke Singapura.

Arvin menambahkan, Imigrasi hingga kemarin masih menunggu penyidik KPK jika ada permintaan pemulangan tersangka. "Kita menunggu dari pihak penyidik untuk selanjutnya. Apabila akan dilakukan pemulangan tentunya kita akan bekerja sama membantu," lanjut dia.

Sementara itu, Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman menegaskan Presiden Joko Widodo tidak akan cawe-cawe dalam kasus OTT Komisioner KPU Wahyu Setiawan. Presiden menyerahkan sepenuhnya kepada prosedur hukum yang berlaku.

 “Jadi kita menyerahkan semua kepada proses hukum tanpa melibatkan dugaan-dugaan di luar itu semua,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin (13/1).

Meskipun ada kasus tersebut menyeret nama petinggi PDIP yang merupakan partai pengusung Jokowi, Fadjroel menyebut bukan masalah. Dalam sistem hukum Indonesia, aturan berlaku untuk semua orang. Sehingga presiden tidak akan melindungi siapapun.

“Tidak akan (melindungi). Karena negara ini negara hukum, bukan negara kekuasaan. Jadi negara berdiri dan berlaku untuk semua pihak siapapun itu,” imbuhnya.

Sebaliknya, istana akan memproses apa yang menjadi kewenangannya. Seperti pergantian komisioner pasca mundurnya Wahyu Setiawan. Fadjroel menuturkan, untuk proses perggantian, pihaknya masih menunggu surat pengunduran diri yang diajukan oleh Wahyu.

Jika sudah sampai, istana akan memproses dan menjalin komunikasi dengan penyelenggara pemilu lainnya.“Presiden Jokowi akan meminta pendapat langsung dari KPU, dari Bawaslu dan juga dari DKPP,” tuturnya.

Terkait kritik terhadap keberadaan Dewas KPK yang dinilai menghambat kecepatan kerja penyidik, Istana meminta untuk tidak cepat mengambil kesimpulan. Menurut Fadjroel, sistem kerja Dewas harus diberi waktu sebelum dievaluasi. Dia juga menegaskan pembentukan Perppu KPK masih belum diperlukan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X