Mengikuti jejak adik memakai toga dan menyemangati anak adalah sebagian alasan para asisten rumah tangga asal Indonesia di Singapura hingga akhirnya bisa diwisuda. Majikan ikut mendukung dengan membelikan laptop atau membiayai kuliah sampai selesai.
FERLYNDA PUTRI, Singapura, Jawa Pos
HARI itu semestinya jadi hari yang paling membanggakan bagi Wiratna. Tapi, terasa ada yang kurang. Sang bapak sakit sehingga tak bisa datang. Sedangkan kakak dan adiknya harus bekerja.
”Jadi cuma video call saja. Terharu sekali rasanya bisa menunjukkan ke bapak kalau saya pakai toga,” kenang Ratna, sapaan akrabnya, ketika dia diwisuda sebagai sarjana sastra Inggris Universitas Terbuka (UT). Matanya tampak berkaca-kaca.
Meninggalkan Kediri untuk menjadi pekerja migran di Singapura pada 1999, menjadi sarjana memang sesuatu yang tak terbayangkan oleh Ratna. Pendidikan terakhirnya cuma SMP.
”Rumah saya dari gedek (anyaman bambu). Orang tua sering berutang untuk beli beras,” ungkap perempuan 37 tahun itu kepada Jawa Pos yang menemuinya di Singapura Sabtu (28/12) lalu.
Namun, semua kesulitan itu tak pernah menghentikannya untuk memupuk mimpi. Tawaran menjadi asisten rumah tangga di Singapura dia terima karena bisa memberinya penghasilan memadai. Dan dari sana dia bisa mengumpulkan bekal untuk sekolah lagi. ”Dulu penginnya dua tahun saja. Eh, keterusan sampai sekarang,” lanjutnya.
Termasuk pendidikannya yang juga ”keterusan”. Sampai akhirnya bisa menyabet gelar sarjana sembari tetap bekerja sebagai asisten rumah tangga.
Wiratna satu di antara 800 pekerja migran Indonesia (PMI) di Singapura yang berkuliah di UT. Sebanyak 13 di antaranya diwisuda sebagai sarjana di Jakarta pada 12 November tahun lalu. Sejumlah lainnya diwisuda di Batam dan Singapura.
Tentu saja tak mudah berkuliah sembari bekerja, apalagi sebagai asisten rumah tangga di negeri orang. Menyisihkan waktu dan tenaga serta di saat yang sama menanggung beban sebagai tumpuan keluarga di kampung halaman.
Ratna mengenang, sebelum pindah ke majikannya sekarang, dirinya sudah bilang akan melanjutkan sekolah. Dia memulainya pada 2013 dari paket C. Dia merasa beruntung karena majikannya mendukung. Bahkan, dia diberi fasilitas laptop dan waktu belajar. Ketika ujian, dia juga boleh libur sehari untuk belajar.
Tapi, meski mendapatkan kelonggaran, Ratna tetap harus membagi waktu. Semasa kuliah, pagi hingga sore dia selesaikan pekerjaan. Malamnya dia gunakan untuk belajar. ”Kuliah saya lama karena sering diajak liburan majikan,” imbuhnya.