Tradisi Membakar Uang

- Sabtu, 4 Januari 2020 | 11:56 WIB

Bambang Iswanto

Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda

 

 

SESAAT setelah bunyi suara kembang api menandai tahun baru menggelegar di sekitar rumah. Salah satu anak saya yang duduk di bangku SD berujar, “Ada yang lagi bakar-bakar uang.”

Meskipun paham apa yang dimaksud, saya penasaran dengan batas pemahaman anak SD tentang pernyataan tersebut. Saya pun balik bertanya, “Kok bakar-bakar uang?” Dengan gaya bahasa anak usia SD, dia menjelaskan, bakar-bakar petasan merupakan pemborosan. Beli petasan dengan harga yang mahal, dinikmati sesaat dengan membakarnya.

Saya hanya tersenyum mendapat penjelasan simpel dari anak saya yang diiringi dengan pernyataan, “Masa sih ayah enggak tahu?” Langsung saya sahut dengan ucapan terima kasih karena sudah dikasih tahu.

Saya sepakat dengan ujaran anak saya yang masih kecil, yang mungkin dia juga dapat dari gurunya di sekolah. Bayangkan saja, betapa banyak orang yang menghambur-hamburkan uang pada malam tahun baru hanya untuk membeli petasan yang harganya bisa sampai ratusan ribu bahkan jutaan. Lenyap dalam hitungan detik, atau paling panjang hitungan menit. Terbakar tanpa menyisakan apapun kecuali serpihan abu kertas yang terbakar dan bau gosong.

Seandainya uang ratusan ribu dan jutaan tersebut dibelanjakan untuk hal-hal positif, tuaian manfaatnya juga besar. Minimal bisa menjadi ladang amal untuk investasi akhirat. Dengan nominal ratusan ribu banyak perut lapar orang yang susah cari makan bisa dikenyangkan. Atau banyak sepatu butut dan robek anak panti asuhan bisa tergantikan.

Uang ratusan ribu tersebut bisa jadi beberapa karung semen yang bisa disumbangkan untuk membangun atau merawat fasilitas umum di sekitar rumah. Atau digunakan untuk memplester dinding bangunan ibadah yang sedang dibangun.

Semua manfaatnya jelas dan dirasakan dalam waktu yang lama. Makanan yang dimakan akan menjadi nutrisi yang menjadi darah dan daging dalam tubuh orang yang memakan. Karena itu, memberi orang makanan pada hakikatnya memberikan ia asupan darah dan daging pada tubuhnya yang akan terus bekerja sepanjang hidupnya. Tidak sekadar dimakan dan menjadi kotoran. Kotoran hanyalah ampas makanan, saripatinya diubah menjadi energi, darah, dan daging.

Demikian pula dengan orang yang menyumbang untuk kepentingan sosial dan umum. Hartanya akan menjadi investasi akhirat yang sustainable. Berkelanjutan bahkan sampai orang yang menyumbang harta tersebut meninggal.

Itu yang dalam istilah agama disebut dengan sedekah jariah. Sedekah jariah merupakan satu dari tiga hal yang disebut Rasulullah pahalanya terus mengalir meski orangnya sudah meninggal.

Masyarakat kita lazim menyebutnya dengan amal jariah. Amal perbuatan baik yang manfaat pahalanya bisa dirasakan terus meski orang yang beramal sudah tiada. Selama jalan masih dimanfaatkan, masjid masih disalati jamaah, atau rumah sakit masih beroperasi melayani orang sakit, maka selama itu pula pahala akan terus mengalir kepada orang yang sudah bersedekah untuk kepentingan-kepentingan umum serta sosial tersebut.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X