Pengusaha Berharap Harga Domestik Batu Bara Dievaluasi

- Kamis, 12 Desember 2019 | 12:29 WIB

Pengusaha batu bara meminta pemerintah mengkaji ulang harga jual batu bara domestik untuk pembangkit listrik. Karena ini bisa menjadi pilihan ketika harga batu bara internasional anjlok.

SAMARINDA – Pengurus Asosiasi Pertambangan Indonesia (API) mengusulkan agar pemerintah mengkaji lagi harga jual batu bara domestik atau domestic market obligation (DMO) untuk pembangkit listrik. Usul tersebut disampaikan dalam diskusi terbatas mengenai industri pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rabu (11/12).

Plh API Djoko Widajatno mengharapkan harga DMO bisa mengacu pada harga batu bara acuan (HBA). Dengan acuan tersebut, nantinya nilai batu bara dihitung dari harga pasar lalu dikurangi dengan sejumlah formula tertentu. Hanya, angka pengurangan tersebut masih harus dihitung. "Kalau dari asosiasi, jelas kami minta harga pasar dikurangi sedikit, jadilah harga DMO. Jadi HBA dasarnya," ungkap Djoko.

Artinya, jika harga HBA mencapai USD 80 per ton, bisa saja harga DMO lebih dari USD 70 per ton. Sebaliknya, jika harga pasar sedang anjlok, maka harga DMO juga bisa di bawah USD 70 per ton. Diketahui, pemerintah mematok harga batu bara DMO sektor ketenagalistrikan maksimal sebesar USD 70 per ton pada 2019 ini.

"Formulanya masih mencari, macam-macam. Kami diberikan kesempatan untuk menghitung. Besarannya berapa ya harga produksi per ton tiap perusahaan kan beda-beda," paparnya.

Ia mengaku belum ada kesepakatan baru antara pemerintah dengan pengusaha mengenai harga DMO baru. Pemerintah memberi kesempatan kepada pengusaha untuk menghitung dan menyampaikan usulannya dalam rapat yang akan dilaksanakan secara rutin. "Ini kan HBA akan bicara lagi ke produsen, kira-kira beban produksi berapa dan harga jual berapa. Karena kalau ditetapkan kasihan juga pengusahanya. Kami beritahu anggota untuk siap-siap," jelasnya.

Adapun penerapan harga DMO untuk sektor ketenagalistrikan akan berakhir pada Desember 2019. Beleid soal batasan harga batu bara untuk kelistrikan ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 1395K/30/MEM/2018 tentang Harga Batu Bara untuk Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.

Sebelumnya, Plt Direktur Utama PT PLN (Persero) Sripeni Inten Cahyani meminta waktu penetapan harga acuan batu bara untuk kelistrikan sebesar USD 70 per ton diperpanjang. Pihaknya sudah mengajukan hal itu kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Menurutnya, mayoritas bauran energi untuk listrik masih berasal dari batu bara, yakni mencapai 62 persen. Makanya, harga komoditas itu akan memengaruhi kinerja keuangan PLN secara signifikan. "Kami sudah mengajukan ke Kementerian ESDM. Kami sangat mengharapkan pemerintah atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa mendorong untuk bisa diperpanjang," terang Sripeni.

Penetapan harga domestik memang sangat berpengaruh. Apalagi eksportir batu bara dihadapkan dengan kebijakan ekonomi hijau Tiongkok yang berpotensi ekspor batu bara Kaltim akan mengalami tekanan.

Tiongkok hingga saat ini dikenal sebagai produser, konsumen dan importir batu bara terbesar di dunia. Dinamika batu bara Tiongkok, terutama dalam hal kebijakan yang berdampak pada permintaan impor batu bara, selalu menjadi perhatian serius pemerintah dan pelaku usaha tambang di Indonesia terutama Kaltim.

Di lain sisi, 46 persen ekonomi Kaltim masih disumbang pertambangan emas hitam. Seluruh kegiatan pertambangan di Kaltim masih diekspor, bahkan 90 persen dari total ekspor Kaltim masih berasal dari pertambangan batu bara. Negara tujuan utamanya ekspor Kaltim adalah Tiongkok dengan market share ekspor non-migas mencapai 28 persen, dan ekspor migas 18,97 persen.

Kepala Kantor Perwakilan (KPw) Bank Indonesia (BI) Kaltim Tutuk SH Cahyono mengatakan, kebijakan Pemerintah Tiongkok tentang kuota impor batu bara sejak 2017 menjadi isu hangat sektor batu bara yang mana kebijakan ini berakar, dari revolusi bauran energi yang merupakan bagian dari kebijakan besar ekonomi hijau atau green economy Pemerintah Tiongkok.

Tujuan dari revolusi ini adalah menyelaraskan kebutuhan energi untuk perekonomian, dengan kewajiban sosial dan lingkungan di samping menjalankan komitmen internasional atas ratifikasi pakta iklim The Paris Agreement oleh Pemerintah Tiongkok pada September 2016. “Tiongkok ingin menjalankan kebijakan ekonomi hijau, sebab Tiongkok merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar dengan persentase 29 persen dari total emisi pada 2017,” katanya.

Untuk itu, Pemerintah Tiongkok mengubah struktur konsumsi sektor energi dengan melakukan transisi dari energi berbasis karbon ke energi terbarukan non-karbon. Dampak dari salah satu produk kebijakan green economy yang impactful bagi negara-negara mitra dagang adalah pembatasan kuota impor batu bara.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X