Selamat Tinggal Koruptor..!! MK Tunda Hak Politik eks Terpidana

- Kamis, 12 Desember 2019 | 12:11 WIB

JAKARTA– Publik Patut mengapresiasi KPK atas status terdakwa residivis koruptor yang melekat pada bupati Kudus Muhammad Tamzil. Mahkamah Konstitusi menjadikan kasus itu sebagai dasar empiris untuk kembali menunda hak politik eks terpidana dalam pencalonan kepala daerah. Tidak ada lagi jalan bagi eks koruptor untuk langsung mencalonkan diri setelah bebas dari penjara.

Kemarin (11/12), MK mengabulkan permohonan yang diajukan Indonesia Corruption Watch(ICW) dan Perkumpulan untuk pemilu dan Demokrasi (Perludem). Dalam putusannya, MK mengubah poin keenam dalam pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 tentang perubahan UU Pilkada.

Yakni, tidak pernah sebagai terpidana dalam perkara yang ancaman hukumannya lima tahun ke atas. Kecuali karena kealpaan atau beda pandangan politik dengan penguasa. Dalam hal ini termasuk pula korupsiu. Bila statusnya sudah mantan terpidana, MK memberi jeda lima tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani seluruh vonis.

Setelah lima tahun, para eks terpidana masih harus membuat pernyataan publikasi bahwa dia pernah dipidana dalam sebuah kasus. Namun, bila ternyata yang bersangkutan adalah mantan residivis, maka otomatis dia tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon kepala daerah (selengkapnya lihat grafis).

’’Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,’’ ucap Ketua MK Anwar Usman dalam amar putusannya. Tidak semua tuntutan ICW dan Perludem diiyakan oleh MK. Yang ditolak adalah tuntutan agar masa jeda itu diperpanjang menjadi 10 tahun. Atau yang menurut Bahasa pemohon, dua periode kepemimpinan kepala daerah.

Putusan tersebut mirip dengan putusan MK pada 2009. Sekaligus membatalkan putusan MK pada 2016 yang menjadikan masa jeda lima tahun dan publikasi status terpidana sebagai alternatif yang bsia dipilih. Dalam putusan kali ini, mantan terpidana harus menunggu lima tahun dan setelahnya masih harus mengumumkan statusnya kepada publik untuk bisa mencalonkan diri.

Hakim Konstitusi Suhartoyo menjelaskan, pertimbangan mahkamah adalah putusan pada 2016 bergeser dari makna putusan pada 2009. ’’Pergeseran itu mengakibatkan longgarnya syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pemimpin yang bersih, jujur, dan berintegritas,’’ terangnya.

Saat itu, pertimbangannya adalah mengembalikan kepada masyarakat yang memiliki kedaulatan memilih. Rupanya, dalam praktiknya tidak demikian. Sebab, ada eks terpidana yang dengan bermodalkan publikasi status ternyata mengulangi lagi perbuatannya alias menjadi residivis dalam kasus yang sama.

meski tidak menyebut nama, namun pertimbangan tersebut bsia dipastikan merujuk pada kasus M Tamzil. Sebab, dia adalah kepala daerah yang berstatus residivis koruptor. Lima tahun terakhir, hanya Tamzil yang menjadi residivis dalam kasus kejahatan.

Karena itu, keadaan tersebut tidak bisa ditolerir. Bahkan pada negara yang menganut demokrasi liberal. ’’Demokrasi bukan semata-mata berbicara tentang perlindungan hak-hak individual, tetapi juga ditopang oleh nilai-nilai dan moralitas,’’ lanjut Suhartoyo.

Karena itulah MAhkamah memberi jeda lima tahun. Agar sang mantan terpidana bisa menyesuaikan diri kembali dengan masyarakat untuk membuktikan bahwa dia sudah berubah. Sekaligus memberi kesempatan lebih lama kepada masyarakat untuk menilai apakah dia memang sudah berubah. Artinya, syarat publikasi status semata sudah tidak memadai untuk menghadirkan calon pemimpin yang berintegritas dan jujur.

Putusan itu tentu melegakan. Kuasa hukum pemohon, yakni Donal Fariz, Fadli Ramadhanil, dan Viola Reininda, langsung semringah begitu Ketua MK Anwar Usman mengetok palu putusan. ’’Putusan ini menunjukkan paradigma mahkamah tentang syarat pencalonan (syarat calon) kepala daerah,’’ terang Viola usai sidang.

Putusan itu, tuturnya, akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan calon-calon kepala daerah yang bersih dan berintegritas. Dalam arti, tidak memiliki catatan buruk atas integritasnya. Pihaknya tidak mempermasalahkan penolakan tuntutan jeda 10 tahun. Karena yang terpenting ada upaya untuk memberikan pilihan-pilihan yang baik bagi masyarakat.

Senada, Donal menuturkan bahwa hal paling penting adalah MK mempertimbangkan fakta empirik yang ada di tengah masyarakat. Tidak adanya jeda bagi mantan terpidana, termasuk korupsi, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah membuat sejumlah eks koruptor langsung maju. ’’Yang terjadi adalah seperti kasus Kudus. Selesai menjalani masa hukuman kasus korupsi, terpilih lagi, dan ditangkap lagi oleh KPK,’’ terangnya.

Masa jeda itu didesain oleh MK agar memberikan waktu bagi eks koruptor mengevaluasi perbuatannya. Juga membatasi agar kontestasi tidak langsung diisi oleh mantan terpidana tanpa masa tunggu. Karena itu, putusan kali ini tergolong progresif. ’’Kami juga berharap Mahkamah memberikan putusan progresif pula pada UU KPK,’’ tambahnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X