YPAC Music Percussion menunjukkan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk menjadi musisi. Sebulan sekali main di car free day. Guru pembimbing menjadikan musik sebagai kebutuhan bagi mereka supaya rajin latihan.
Agas Putra Hartanto, Solo, Jawa Pos
Sekolah Luar Biasa D/D1 (Tunadaksa) YPAC Surakarta punya grup musik yang lumayan ternama di kota itu. Namanya YPAC Music Percussion. Penggawanya para murid sekolah tersebut. Tahun ini memasuki angkatan ketiga.
Ada Rasikh Firdaus yang bermain keyboard, Pita (tamborin), Ivan Kun (drum), serta Raka Wahid (kentongan dan cowbell). Ada pula lima vokalis, Diah Pertiwi, Al Neva, Azka Ramadani, Gischa Zayana, dan Sarah Suryandari, yang juga bermain keyboard.
Pada 19 November lalu mereka unjuk gigi tampil dalam malam peringatan Hari Anak Sedunia dan 30 tahun Konvensi Hak Anak di pendapa Balai Kota Solo.
Gundul-Gundul Pacul menjadi lagu pembuka. Dihadirkan dengan aransemen tak biasa. Rock n roll ala The Changcuters. Kombinasi suara cowbell dan kentongan yang dimainkan Raka yang berpadu dengan tabuhan perkusi tong sampah Ivan Kun menguatkan kesan itu. Tidak ada gitar.
Kepala bagian bakat dan minat anak sekolah itu, Sugian Noor, memilih menggunakan dua keyboardist. ’’Satu sebagai ritem, satu lainnya melodi,’’ ucapnya.
Menurut dia, keyboard lebih mudah dimainkan anak-anak difabel. Variasi warna suara dan nada bisa diatur sesuai dengan keinginan. Lima vokalis berperan untuk melakukan harmonisasi.
Penampilan YPAC Music Percussion membuat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga serta Gubernur Jateng Ganjar Pranowo takjub. Keduanya berdiri dari duduk masing-masing untuk memberikan standing applause sambil tersenyum lebar.
’’Itu luar biasa. Mereka sangat semangat meski memiliki kekurangan. Tapi, di sisi lain, orang memandang justru itu keistimewaan mereka. Itu yang seharusnya menjadi contoh bagi teman-teman difabel lainnya,’’ ungkap Bintang.
Bukan hal mudah membangun kelompok musik itu. Sekolah menjadikannya salah satu kegiatan ekstrakurikuler. Namun, mereka tak punya banyak dana untuk mendukung kegiatan itu. Demikian pun peralatan musik yang dimiliki sekolah. Seadanya. Hanya ada satu set drum dan keyboard.
Merekrut anak untuk bermain musik juga susah-susah gampang. Namun, Sugi memiliki trik. ’’Pertama dipancing, mau nggak terkenal, masuk koran?’’ ujarnya.
Biasanya, pancingan itu berhasil. Beberapa anak tertarik untuk menunjukkan kelebihan mereka. Sugi ingin para siswa benar-benar menekuni musik. Kuncinya, anak harus suka. Menjadikan musik sebagai kebutuhan. Tidak ada paksaan.