Seperti Bertemu Saudara, Trenyuh Gamelan 30 Tahun Ditabuh Lagi

- Sabtu, 7 Desember 2019 | 12:16 WIB

Bocah-bocah yang tergabung dalam Omah Cangkem belum lama ini menorehkan sejarah baru. Anak asuh Pardiman Djoyonegoro ini mampu mengobati kerinduan warga Numea Mondor, Kaledonia Baru. Walau berkewarganegaraan Prancis, warganya masih memiliki darah keturunan Indonesia.

 

DWI AGUS, Jogja, Radar Jogja

 

Bicara seni tentu tak sekadar buah karya manusia semata. Ada beberapa warisan leluhur yang terserap dalam setiap karya. Tumpukan karya ini mampu menjadi jati diri yang kuat. Walau telah pergi jauh dari rumah, tetap melekat.

Semangat ini terlihat dari warga Kaledonia Baru. Kepulauan yang masuk dalam administrasi Negara Prancis ini dihuni oleh warga keturunan Indonesia. Leluhur mereka telah cukup lama menghuni wilayah kepulaian itu. Namun mereka kehilangan jejak rekam seni budaya mulai luntur.

“Kami diundang ke sana oleh Persatuan Masyarakat Indonesia Kaledonia (PMIK). Tujuannya untuk menampilkan wujud-wujud seni, khususnya kesenian Jawa. Sudah berangkat dari 17 sampai 28 Oktober kemarin,” jelas Pardiman.

Pria kelahiran Bantul 7 Agustus 1968 ini menuturkan kisah awal. Yakni saat wali kota Kaledonia Baru mengunjungi studio Omah Cangkem pertengan 2018. Awalnya hanya melihat ragam seni melalui pementasan. Hingga akhirnya tercetus untuk mengundang ke Kaledonia Baru.

Pardiman tentu menyambut positif tawaran ini. Awalnya hanya tujuh peserta yang berangkat ke Kaledonia. Hingga akhirnya salah seorang peserta rombongan Kaledonia mengajukan kuota tambahan. Alhasil ada 14 bocah dari Omah Cangkem yang berangkat.

“Total dengan pendamping ada 19 orang yang berangkat. Anak-anak yang berangkat itu seusia pelajar SMP. Kami bagi untuk acapella, keroncong, dan gamelan. Ada tujuh repertoar yang kami mainkan,” ceritanya.

Tak ingin setengah-setengah, Pardiman menyiapkan konsep secara matang. Untuk acapella dia menghadirkan dua repertoar. Berjudul Aku Anak Jogja dan Suwe Ora Jamu. Cerita seru tercipta untuk repertoar keroncong.

“Nah, masalahnya untuk lagu keroncong seusia mereka itu belum ada. Kalau campursari kok terlalu dewasa, tapi usia anak-anak juga tidak bocah lagi. Akhirnya kami ciptakan lagu baru berjudul Kelangan Enggok, Banyu Bening dan Wahai Gelombang,” ujarnya.

Ada kisah dan semangat nasionalisme dalam kedua lagu ini. Kelangan Enggok memiliki makna hidup harus selaras dan lebih baik. Tentunya tetap sesuai dengan semangat NKRI. Sementara untuk Banyu Bening memiliki makna tentang harapan dan pikiran yang jernih.

Kisah persahabatan dengan alam tertuang dalam lagu Wahai Gelombang. Cerita dalam lagu ini adalah bagaimana manusia harus selaras dengan alam. Juga menjadikan alam sebagai guru kehidupan. Ini yang menjadi cerminan dan semangat hidup di Indonesia.

Tak terhenti sampai di sini, repertoar gending turut bernyawa. Dua lagu berjudul Sambung Pitutuh dan Dolan-Dolan menjadi bekal. Gending Dolan-Dolan mengajak warga Kaledonia bernostalgia. Mengenalkan beragam keindahan Nusantara melalui permainan gending gamelan.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X