Murid SD Cuma 14, Guru Mengajar Enam Kelas Sekaligus

- Sabtu, 7 Desember 2019 | 10:59 WIB

Jalan “bubur” kala hujan, tanpa jangkauan komunikasi, hingga menikmati listrik cuma enam jam sehari adalah santapan harian warga di pelosok Kutai Barat.

 

NURAINI

 

EKSPEDISI Kaltim Post dari Samarinda menuju Kampung Tanjung Soke, Kecamatan Bongan, Kubar, menghabiskan waktu sekitar delapan jam. Penulis berangkat pada 26 November. Perjalanan seharusnya bisa lebih cepat. Namun, kondisi jalan yang mayoritas rusak membuat penulis dan rombongan dari Pemprov Kaltim harus berkendara lebih hati-hati.

Sebelum ke Kampung Tanjung Soke, iring-iringan melewati Kampung Deraya yang berjarak 9 kilometer dari Kampung Tanjung Soke. Pada 5 kilometer pertama, perjalanan masih lancar karena kondisi jalan sudah disemen. Berikutnya menjadi lebih sulit. Rombongan melewati jalur “off road”. Sebagian jalan kondisinya rusak berat. Berlumpur karena baru saja diguyur hujan.

Tantangan selanjutnya, rombongan ekstra-hati-hati saat melintasi beberapa jembatan kayu. Jembatan yang dibuat dari barisan gelondongan kayu. Tampak lapuk. Ditambah lebarnya hanya 1,5 meter. Hanya cukup untuk dilintasi sebuah mobil. Tidak sedikit mobil terjungkal ke jurang yang menganga di bawahnya karena selip saat melintasi jembatan itu. Yang memilukan, fasilitas ini adalah satu-satunya jalur penghubung dua kampung tersebut.

Kampung Tanjung Soke mayoritas dihuni warga beretnis Dayak Luangan. Semuanya beragama Islam. Terdapat sejumlah fasilitas umum di kampung tersebut. Di antaranya, masjid, sekolah dasar, puskesmas, dan kantor desa. Terdapat pula beberapa bangunan adat khas kebudayaan Dayak yang berdiri megah.

Meski tersedia fasilitas umum, namun tidak berfungsi maksimal. Ketika sakit, warga tidak bisa mengandalkan fasilitas puskesmas kampung yang terbatas. Mereka memilih mencari pertolongan medis ke Desa Deraya yang punya fasilitas lebih memadai. Bertahan di kampung itu hingga pulih. Atau bila fasilitas kesehatan di Desa Deraya tidak cukup membantu, mereka harus melanjutkan perjalanan ke Puskesmas Jambu di Resak 3, kampung lainnya di Kecamatan Bongan. Jaraknya dari Desa Deraya 37 km.

Namun, aksesnya lebih ramah pengendara. Hanya agregat disertai debu. Tidak seberat jalur Tanjung Soke–Deraya. "Ya begini kondisi yang harus kami lewati, yang teman-teman rasakan ketika menuju ke sini, kami pun berharap pemerintah lebih memerhatikan kendala akses jalan. Ini sangat penting, kami pun sangat terkendala dengan akses jalan yang seperti ini," tutur Asrani, sekretaris Kampung Tanjung Soke.

Untuk menuju Kampung Tanjung Soke dari Simpang Tiga Bukit Harapan, jaraknya 44 km. “Itu melewati beberapa Kampung. Dari keseluruhan jalur, baru 5 kilometer yang sudah disemen,” ucap dia. Untuk ketersediaan air dan listrik, kampung yang dihuni 164 jiwa dalam 41 kepala keluarga itu mengandalkan fasilitas seadanya. Air berasal dari aliran riam di dekat kampung. Semua kegiatan berkaitan air dilakukan di sana. Setiap pagi, masyarakat berbondong ke tepi riam. Membawa keranjang cucian dan peralatan mandi.

Ada juga yang membuat saluran menggunakan slang agar air bisa ditampung di rumah. "Namun untuk menyedotnya, kami menggunakan mesin yang hanya menyala saat malam. Jika pagi hingga sore kan belum ada listrik, jadi kami tetap mandi dan mencuci di sungai," kata Agustina, warga yang sekaligus guru di kampung tersebut.

Untuk keperluan setrum warga Kampung Tanjung Soke, mereka hanya mengandalkan setrum dari diesel hasil bantuan dana desa pada 2015. Hanya berfungsi sebagai penyuplai daya penerangan pada malam hari. Dimulai pukul 18.00–00.00 Wita. Atau hanya selama 6 jam. Sebelum ada diesel, warga hanya bisa mengandalkan penerangan dari strongkeng. Setiap malamnya, diesel bisa menghabiskan 5 liter solar. “Untuk pembiayaan solar, kami iuran Rp 200–250 ribu per rumah, masuk ke desa,” timpal Asrani.

Keterbatasan juga mengungkung warga Tanjung Soke dari sisi pendidikan. Hanya ada satu bangunan sekolah dasar di sana. Terdiri dari tiga ruang. Satu ruang guru dan dua lainnya ruang kelas. Kepala sekolah dan tiga guru menangani 14 siswa yang tersebar dalam enam kelas. Karena hanya ada dua ruang, kelas I, II, dan III dijadikan satu kelompok. Begitu juga kelas IV, V, dan VI yang digabung dalam ruang yang sama.

Mengajar di kelas yang berasal dari berbagai jenjang tentu ada tantangannya. Agustina menceritakan, ketika mengajar kelas I, dalam sesi tanya-jawab, siswa kelas II dan III ikut menjawab. "Namanya anak-anak, diarahkan fokus instruksi guru namun tetap saja. Kami juga tak bisa menahan mereka yang dengan spontan menjawab, jadi pintar-pintar kami saja mengajar. Untung saja guru di sini juga berasal dari warga kampung sini," kisahnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X